Philadelphia dan Louisville
Setelah Washington DC dan New York City, kota selanjutnya dalam rangkaian program IVLP (International Visitor Leadership Program) atas undangan US Department of State ini adalah Philadelphia, lanjut ke Louisville, Kentucky. Dua kota ini saya satukan di satu blog post saja. Biar gampang dan pembaca juga gak bosen, hehehe..
Dari NYC, rombongan bergerak menuju Philadelphia dengan kereta api Amtrak. Ada sedikit drama dalam perjalanan ini. Mendadak, di tengah terowongan yang gelap gulita, mesin kereta apinya berhenti bekerja, alias mogok. M-O-G-O-K, sodara-sodara! AC kereta mati, lampu di dalam gerbong juga seadanya, dan kami semua terjebak di dalam terowongan selama lebih kurang satu jam.
Saya yang lagi tidur-tidur ayam, tadinya cuek dan tidak berpikir apa-apa. Berusaha cuek, tepatnya. Tapi setelah beberapa saat, saya mulai takut. Yang terpikir adalah, “Waduh, jangan-jangan kereta ini disabotase. Jangan-jangan ini kerjaan teroris. Jangan-jangan, kereta ini sebentar lagi meledak.” Matek.
Drama, ternyata, belum berakhir. Tidur-tidur ayam saya terganggu oleh pak Hengky yang mencolek lengan saya. “Ikut saya”, katanya. Alamak, ada apa lagi ini? Saya lantas mengikuti langkah pak Hengky ke arah sambungan gerbong kereta, di mana mbak Ainun sedang berdiri dengan wajah yang sulit dilukiskan. Antara panik, lemas, dan berusaha tetap bernapas dengan tenang.
Mbak Ai ternyata bukan satu-satunya penumpang yang mengalami ini. Beberapa orang di gerbong-gerbong lain juga mengalami gejala klaustrophia. Tapi, saya yang belum pernah berurusan dengan phobia-phobia semacam ini tentu saja khawatir. Panik, tapi berusaha sok cool, gimana sih? Aduh matek banget lah pokoknya siang itu, hahaha..
Namun seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Gak deng, gak ada hubungannya deng sama pepatah. Ya pokoknya gitu lah, perjalanan dramatis dengan kereta api ini berakhir indah ketika kami akhirnya tiba di Philadelphia. Kota ini punya peran besar dalam sejarah Amerika Serikat. Diceritakan, proklamasi kemerdekaan Amerika bertempat di kota ini. Philadelphia juga adalah ibukota pertama United States of America, sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Washington DC.
Jadi selain sejumlah meeting (yang tidak perlu saya ceritakan dengan siapa dan tentang apa, hihi..), selama di Philly rombongan kami juga mengunjungi Independence Visitor Center. Di sana, sekali lagi, saya dibuat iri menyaksikan bagaimana sejarah berdirinya sebuah negeri disajikan dan dikemas dengan sangat apik. Ada theater yang mengawinkan seni peran, lighting system, slide, foto-foto, dan narasi yang rapi.
Kami juga dibawa ke Reading Terminal Market untuk makan siang. Di pasar ini ada satu kedai Philly Cheese Steak yang kabarnya adalah ‘warung’ langganan pak Obama. Sayangnya saya gak sempet beli makanan di sana, karena antreannya udah bikin kelaparan duluan. Sore setelah semua meeting selesai, gak banyak yang bisa dilakukan kecuali menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel, memotret bangunan-bangunannya yang cantik, jalanan yang tidak terlalu lebar tapi rapi dan bersih, dan tentu sajaaaaa…belanjaaaa!!!
Soal motret, yang jalan sama saya dan mbak Ainun mungkin lama-lama akan sebal, hahaha.. Sepertinya di antara kelima anggota rombongan, hanya kami berdua yang sebentar-sebentar berhenti untuk bermain-main dengan kamera. Ya, namanya juga blogger, hihihi..
Kota ke-empat, adalah Louisville, Kentucky.
Kota ini beneran sepi. Di downtown, deket hotel Springhill Marriot tempat kami menginap, bisa dibilang gak ada apa-apa yang bisa dilihat. Keramaian hanya ada di Fourth Street, tempat berjejernya sederet restoran dan bar. Ada Hard Rock Cafe juga di sana. Selebihnya, sepi. Benar-benar hanya di satu jalan itu saja terpusat segala keriaan. Saya gak bisa belanja atau berburu souvenir lucu, karena toko-toko sebagian besar tutup setelah jam 6 sore. Padahal langit masih sangat terang, dan agenda meeting baru kelar ya jam 6 itu. Halah banget, hahaha…
Hari kedua di Louisville, kami sengaja makan siang di kedai ayam goreng KFC, langsung di kota asalnya. Mau tau rasanya? Ummm, aneh. Bukan gak enak sih, tapi rasanya aneh aja di lidah. Gak ada nasi, gak ada saos sambel. *dasar lidah ndeso*
Di Louisville, saya juga dapet program home stay. Berdua dengan Evi Zain, saya nginep di rumah Roland Blahnik, yang tinggal berdua saja dengan istrinya, Marie Blahnik, di rumah mereka yang bagus banget dan pasti mahal banget. Secaraaaa…rumahnya itu ada di kawasan berbukit-bukit, ada golf course tepat di depan balkon rumah yang menghadap ke danau. Ngobrol sampai tengah malam di bawah langit penuh bintang, saya menemukan satu pemahaman baru, bahwa ternyata Amerika bukanlah Amerika yang saya lihat di film-film Hollywood yang gemerlap.
Apa saja isi percakapan malam itu, biarlah itu saya simpan sebagai rahasia. *dikepruk*
Next stop: Dallas and Seattle.
P.S: foto paling bawah, saya dan mbak Ainun lagi makan malam di HRC Louisville bareng Pak Hengky dan mbak Nunu. Dua interpreter kami yang keren, yang setelah beberapa hari, hubungan kami bukan lagi penerjemah dan tamu, tapi bermetamorfosa menjadi sahabat tempat berbagi cerita, huehehehe… Miss you, guys!
Seperti diajak membaca potongan cerita bikin ngakak, geli, dan juga kocoh2 mripatku :) :)
Tentang KFC, merefresh zaman masih belajar,, sebelum ngembangin bisnis di Indonesia pastinya mereka belajar kultur dan preferensi konsumen dulu ya… :)
Mbok, itu pedagang tanaman di pinggir jalan ya? menarik ya tampilannya… :D
itu farmers’ market, pasar yg cuma buka di akhir pekan. jadi para petani, pengrajin dari desa2 dateng ke sana jual barang2 produksinya sendiri. keren :D
soal KFC, lupa aku ceritain di postingan, aku jg ke makam Colonel Sanders. halaaah :))
Ah, semakin iri ketika baca postingan ini. Keren si mbok.
thanks udah baca :D
mbak nunu ketoke ayu yo hahahaha
ayu, hed. tapi wis duwe bojo :))
Asik deh mbok, hahaha, yang menarik itu KFC dinegeri asalnya yang tidak ada nasi, sepertinya kurang mengenyangkan deh :)) | ajak aku mbok ajak aku :D
wuih denger ceritanya seru banget ya, kota2nya bagus lagi. keren abis. tp ngomong2 kereta di AS bisa mogok juga ya? heheh