Tulisan Om Warm (saya biasa manggil dia dengan nama itu). Baca tulisan-tulisan lain di blognya atau follow twitter Om Warm ya..
“Jalan ke gunung ya mesti nemunya tanjakan” – mas Bagus Prakoso.
Saat ada ajakan untuk bersepeda ke arah Selo via Ketep menyusuri rute mengelilingi gunung Merapi, tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan. Ajakan itu datang dari mas Raditya dan Bagus Prakoso, dua orang kawan yang sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan sepedanya.
Hal utama yang membuat saya setuju adalah rute itu belum pernah saya susuri, selain nama dua tempat kondang yang kondang dengan ketinggiannya itu, riwayat kedua kawan seperjalanan saya itu pun adalah jaminan untuk perjalanan lumayan jauh yang menarik, terlebih mereka saya percaya jauh lebih mengerti cara mengatur ritme gowes di jalan terutama di ketinggian.
Perjalanan akhirnya dimulai jam tujuh pagi di hari Sabtu, sehari sebelum peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 69. Berangkat berempat, dengan peserta tambahan mas Saktya yang juga jejak rekam bersepeda jarak jauhnya sudah teruji. Kami bertiga kecuali mas Radit yang setia dengan A-Pro merahnya, menggunakan sepeda keren bermerk Federal, yang berat berbahan besi namun kokoh untuk perjalanan jauh.
Dari Jl. Kaliurang km. 5 perjalanan dimulai, menyusuri ringroad utara Jogja menuju Jl. Palagan, terus ke utara hingga nantinya berbelok ke kanan menuju Jl. Magelang via Jl. Gito Gati. Etape awal perjalanan terasa menyenangkan karena udara masih terasa sejuk, jalanan masih relatif datar sampai ke daerah Muntilan, titik tempat dimana nanti harus berbelok ke kanan jalan menuju Ketep. Tigapuluh kilometer yang ditempuh pun tak terasa begitu memakan tenaga.
Setelah mampir sarapan di warung soto di pertigaan jalan Muntilan, etape kedua pun dimulai, dan sungguh, rasanya inilah awal perjalanan yang sesungguhnya. Jaraknya ‘cuma’ sekitar 15 km, tapi bersepeda dari ketinggian 392 m hingga pelan-pelan menanjak sampai 1134 m dpl itu benar-benar menguji kesabaran dan jelas menguras tenaga dalam arti yang sesungguhnya. Apalagi jalanan dari Muntilan menuju Ketep elevasinya lumayan miring, nyaris tak ada jalan yang datar. Jadi ketemu jalan datar beberapa meter saja rasanya sudah seperti menemukan surga, lumayan bisa untuk jeda beberapa menit untuk mengambil napas.
Puncaknya mungkin adalah beberapa ratus meter sebelum pertigaan antara arah menuju Ketep pass dan Selo, tanjakan menuju ke titik situ benar-benar biadab, bahkan saking jahanamnya, saya dengan sangat terpaksa mampir di kedai warung mie ayam untuk mengisi perut. Tenaga saya benar-benar terkuras habis sesampainya disitu. Tak seperti yang lainnya, masih tetap maksa untuk menunda makan siangnya di Selo, padahal waktu sudah menunjukkan jam satu siang lebih.
Tapi saya salut dengan ketiga teman perjalanan yang saya nggap sebagai guru dalam perjalan, melihat mereka pelan-pelan menggowes sepedanya, dengan kecepatan rata-rata 6 km/jam toh akhirnya tanjakan yang paling parah sekalipun mampu dilewati tanpa harus menuntun sepeda. Tanpa sadar saya mengikuti ritme mereka dan alhamdulillah bisa juga memaksa dengkul hingga titik keringat penghabisan.
Etape ketiga, kalau menurut kata mas Radit “dari sini menuju Selo, rute yang akan dijalanin kira-kira terdiri dari 10 km tanjakan, dan 5 km turunan, tapi dua kilometer menjelang Selo jalannya sudah relatif datar”. Baiklah..
Nyatanya, uraian beliau yang sudah tiga kali menyusuri rute yang sama benar adanya, walaupun ternyata rutenya lebih bervariasi, naik turun dan relatif tak separah tanjakan menuju Ketep. Walau tetap saja harus pinter-pinter mengatur napas, karena jalanan suka semau-maunya iramanya, dari turunan yang melenakan jiwa, di ujung lengkungan tiba-tiba dipaksa menanjak lagi. Ditambah dengan kelokan jalan yang terhitung jumlahnya. Tapi pemandangannya masbro, subhanallah!
Pemandangan super keren itu sebenarnya sudah bisa dinikmati sepanjang perjalanan dari Muntilan-Ketep-Selo. Kebetulan cuaca sangat cerah, sehingga puncak Merapi terlihat dengan sangat jelas dari sisi utara, puncak Merbabu yang terlihat ramah dari sisi selatan. Belum lagi pemandangan kiri kanan jalan, tebing, hijau pepohonan, kebun tembakau, senyum ramah orang yang berpapasan, hingga anak-anak sekolah dasar yang rajin memberi semangat saat terengah-engah merayapi tanjakan, bener-bener tak akan bisa terukur dengan uang.
Tapi toh, akhirnya neraka tanjakan pun berhasil di lewati, akhirnya sekitar pukul tiga sore, berempat sampai di surga bernama Selo, sebuah desa yang merupakan titik di tengah-tengah antara gunung Merapi dan Merbabu, tepat di angka 60 kmyang tertera di cyclocomputer . Alhamdulillah !
Sembari menunggu pesanan makan siang yang waktunya mundur ke sore hari, saya pun mengamati sisi jalan yang ramai dengan pendaki-pendaki, baik yang mau ke puncak gunung Merapi, maupun yang mau ke gunung Merbabu. Sebenarnya di sepanjang jalan sudah melihat indikasi itu, dari banyaknya sepeda motor yang naik dengan pengendara yang rata-rata membawa carrier di punggungnya. Apalagi tampaknya banyak yang mau melewati momen hari kemerdekaan di atas gunung, keren!
Tapi perjalanan belum usai, cukup satu jam istirahat makan dan sholat. Perjalanan pun dilanjutkan, tapi jelas jalan menuju pulang tak lagi seberat sebelumnya. Rute pulang didominasi turunan yang lumayan curam dan tikungan tajam, sampai sepeda saya bisa melaju bersenang-senang sampai mencapai kecepatan maksimal 64 km/jam, itupun sudah pake ngerem berkali-kali. Dan udara yang super dingin, memaksa jaket terpaksa dikeluarkan dari pannier dan dikenakan sepanjang jalan.
Akhirnya memasuki wilayah Klaten, turunan ekstrim pun usai, jalanan sudah relatif datar kembali, walaupun kembali menemukan tantangan tambahan berupa jalan rusak akibat dilewati truk berisi batu dan pasir, ditambah menjelang hari gelap tak menemukan musholla di sepanjang jalan sepi di tengah gelapnya belantara.
Baru pukul 6.23 di tengah jalan menuju pertigaan Manisrenggo yang nantinya berujung ke sisi jalan candi Prambanan, menemukan musholla kecil untuk istirahat sebentar sekaligus maghriban sebentar.
Dari situ, beberapa belas kilometer kemudian, akhirnya menemukan peradaban kembali, memasuki lalulintas jalan sekitar Kalasan, untuk kembali ke arah Jogja. Mengakhiri perjalanan dengan makan malam di terminal Condong catur, kemudian kembali ke markas masing-masing.
Saya akhirnya sampai rumah sekitar jam sepuluh malam, dengan total perjalanan sekitar 130 km, melewati empat kabupaten sekaligus, Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten. Sebuah catatan perjalanan yang luar biasa lengkap, karena penuh variasi, dari jalanan datar, nanjak gila-gilaan, turunan yang tak kalah edan, sepanjang pagi-siang yang cerah sampai berubah menjadi malam yang membuat jalan tak lagi terlihat kalau tak dibantu lampu sepeda, jalanan mulus sampai rusak berbatu.
Ada yang mau turut mencoba rute keren ini? Dengan bersepeda tentunya, kalian tak akan pernah menyesal, percayalah.
Mas sy ingin mencoba keliling merapi ttp berlawanan arah jarum jam. Mohon diinfokan kondisi tanjakan dari cepogo ke selo. Mana lebih ringan dg arah jarum jam ato berlawanan jarum jam. Tks infonya…salam gowes
wah, yg pernah berlawanan jarum jam itu temen saya mas radith, mungkin bisa dibaca di postingan blognya, tapi sepengetahuan saya, keliatannya lebih banyak tanjakan kalo dari arah Klaten..
https://denmasbrindhil.wordpress.com/2012/05/23/selo-daytrip/
AKU PENGEN!!!