Ditulis oleh Donny Verdian, blogger (yang mengaku) tampan di donnyverdian.net.
Twitternya: @dv77
Sadar-nggak-sadar, dua arus besar bertemu di satu perempatan jaman.
Arus pertama adalah reformasi Indonesia yang berhulu pada 1998, arus kedua adalah lahirnya media baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, social media pada awal 2000an.
Bayangkan jika social media datangnya kepagian, awal 90an misalnya. Bisa jadi kita iri setengah mati dengan kawan-kawan kita di belahan lain yang menikmati social media seperti cara kita menikmatinya sekarang.
Yang kubayangkan, rejim lama Orde Baru saat itu pasti tak tinggal diam dan memberi berangus pada ‘moncong-moncong’ kita supaya tetap diam entah itu dengan menutup akses ke kanal-kanal social media, atau sebaliknya membiarkannya masuk tapi begitu kita bicara, apalagi nyinyir, penjara bisa jadi tempat kita bermalam bertahun-tahun lamanya!
Nyinyir adalah kunci!
Kalau dipikir-pikir, musuh politik Soeharto dulu dipenjara ya karena nyinyirnya itu. Entah itu nyinyir kepada keluarganya ataupun pada kerja pemerintahannya yang bagi orang-orang yang nyinyir tadi, tidak pada tempatnya.
Bedalah dengan kita sekarang.
Sejelek-jeleknya rejim masa kini, kita boleh bangga karena mereka tak mudah marah ketika kita nyinyir di Facebook ataupun Twitter. Sejauh kita tidak menghasut dan tidak merendahkan martabat, sepertinya, sejauh yang kutahu, mereka tak pernah beraksi yang berlebihan seperti misalnya menuntut kita di muka hukum atau menculik lalu menghilangkan nyawa kita misalnya…
Lalu apakah nyinyir itu?
KBBI mendefenisikan nyinyir sebagai mengulang-ulang perintah atau permintaan. Ia menyediakan kata lain untuk nyinyir yaitu nyenyeh dan cerewet.
Kekuatan nyinyir yang juga bisa terbaca sebagai ‘hal yang paling bikin eneg dari orang nyinyir’ adalah repetisinya, keberulang-ulangannya itu sendiri.
Tapi sudah barang tentu ada penyebab sebuah bicara menjadi berulang-ulang, nyinyir dan itulah yang menarik untuk kita simak dan teliti.
Ibarat weker…
Akupun banyak dicap orang sebagai nyinyir.
Tempo hari aku pernah nyinyir ‘tak berkesudahan’ terhadap buzzer, pernah pula nyinyir yang ‘berantai’ terhadap komunitas-komunitas blogger di Tanah Air yang menurutku kerjanya lebih banyak kumpul-kumpul ketimbang nulis blog, tentang PKS dan tentang yang lain-lainnya.
Beberapa kawan bertanya kenapa aku sebegitu nyinyirnya?
Jawabku, “Aku tak yakin kalian paham kalau hanya sekali saja bicara karena buruknya bahasaku atau karena terlalu tingginya penerimaanmu terhadap kata-kataku!”
Dan ketika hal itu terjadi, berarti ada hal yang tak tersampaikan dengan baik sehingga prinsip komunikasi tak terpenuhi, dan cara terbaik untuk menghilangkannya adalah dengan nyinyir, dikatakan berulang-ulang dengan harapan kalian bisa mengerti dan menerima.
Tapi jawabanku barusan tentu adalah formalitas belaka, karena aku lebih suka pada jawabanku yang berikut ini.
Ibaratnya membangunkan anak ‘kerbau’ yang malas bangun pagi, kita perlu weker yang diputar berulang-ulang. Membayangkan si anak tadi bangun dengan sekali bunyi weker adalah ibarat mengharapkan air terjun itu jatuhnya ke atas, kan?
Jadi, nyinyir itu ibarat mengulang-ulang suara berdering di telinga hingga si anak bangun. Perkara setelah ia bangun, lalu mematikan weker dan tidur lagi, pada poin ini analogi weker dan nyinyir sudah tak berkesuaian karena di era yang merdeka dan demokratis ini, penyinyir harusnya tak bisa dimatikan begitu saja…
Penyinyir sejati tak mengharapkan kembali…
Seorang penyinyir ulung harusnya sadar diri sebising apapun nyinyirannya, dia tetap bukanlah seorang penyihir yang mampu mengubah dunia atau setidaknya mengubah orang yang kita nyinyiri.
Orang bijak bilang biarlah itu jadi urusan Tuhan saja…
Jadi, mengerti akan landasan ini, aku tak pernah mengirimkan invoice kepada orang yang kunyinyiri bahwa aku telah menghabiskan energi sekian kilojoule besarnya untuk nyinyir kepada mereka dan harap mereka membayar kembali, karena memang nyinyirku sama sekali tak berongkos dan tak mengharapkan kembalian.
Penyinyir harus mengambil sikap bagai sang surya yang menyinari dunia, hanya memberi dan tak pernah mengharap kembali.
Tapi setidaknya ketika tiba-tiba kita diam dari nyinyiran, dunia yang bisu dan kaku ini akan kehilangan ritme yang membosankan tadi, “Kok jadi sepi?” Seperti kita yang tiba-tiba kehilangan suara bising tetangga sebelah menyalakan pompa air di pagi hari misalnya…
Untuk itulah para penyinyir ada dan ‘berkarya’ sambil meletakkan harapan perubahan hanya kepada Tuhan, kita hanya mampu berusaha…
Kalaupun nyinyiran kita gagal, hal terburuk paling hanya dianggap sebagai orang gila yang tak pernah berhenti bicara, “Apa bedanya loe dengan para orang gila yang berteriak-teriak di perempatan jalan?”
Ya sudah, tak mengapa… toh Nyai Ontosoroh pernah bicara pada Minke di lembar terakhir buku Bumi Manusia, “Kita sudah melawan, Nak.. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!”
… dan senyinyir-nyinyirnya…
terkadang nyinyir itu bermanfaat :D
kadang gak ada manfaatnya juga sih :))
Nuwun Mbok… pantesan tadi pas lagi di gereja aku mendadak merasa tambah ganteng sekian persen, ternyata tulisanku diunggah di blog ini… hihihihih
Kamu termuach di hati deh wakakaka…
suwun untuk tulisan bagusnyaaaaa :D