rendah 1 /ren·dah / a 1 dekat ke bawah; tidak tinggi: pohon-pohonan yg — ditanam dng teratur; 2 hina; nista: — budi;
— budi kehinaan; kenistaan;
— diri hal (sifat); merasa dirinya kurang;
— hati hal (sifat) tidak sombong atau tidak angkuh;
Kerendahan hati, atau humility dalam Bahasa Inggris, konon berasal dari kata humus. Dalam Bahasa Latin, humus artinya tanah. Kalau disambung-sambungin, rendah hati bolehlah kita artikan sebagai menjejak ke bumi. Memposisikan diri kita sejajar dengan tanah. Humble. Tidak lebih tinggi dari apapun, atau siapa pun. Tidak lebih baik, lebih pintar, atau lebih mulia dari siapa pun. Tidak juga (ini yang sebetulnya ingin saya sampaikan) lebih benar dari siapa pun.
Semua agama, setau saya juga mengajarkan umatnya untuk menjadi makhluk yang rendah hati. Manusia yang tidak sombong, angkuh, merasa benar sendiri, menolak mendengar pendapat orang lain. Yang ekstrim bahkan udah sampai di level menolak untuk membuka telinga dan berdiskusi. Saking benernya dia. Saking hebatnya.
Ada seorang kawan –sebut saja namanya Si Munah– yang pernah sangat sangat sangaaaaat saya sebelin. Setidaknya, saya menganggap dia adalah manusia paling menyebalkan di planet ini. Mencibir –dalam hati maupun terang-terangan– setiap tindakannya, ucapannya, kekeraskepalaannya. Saya sebal dengan lagaknya yang selalu menganggap orang lain salah dan lebih rendah. Benci melihat dia dengan pongahnya menertawai pendapat orang lain, seolah-olah pendapatnya sendirilah yang paling benar. Seolah-olah kata-kata yang keluar dari mulutnya mutlak benar.
Kemudian, tibalah suatu masa, di mana saya memutuskan (ejieee bahasanya) untuk menjauh saja dari si Munah ini. Sama sekali putus kontak. Gak pengen ngobrol, gak mau ketemu lagi, not even on Twitter. I hated her guts. So much. Haha! The thing is, melihat namanya berseliweran di layar hape aja membuat saya sebal dan marah-marah gak penting, lhoh. Jadi bayangkanlah betapa damainya hidup saya, saat dia udah saya anggap gak ada. Saya jadi tak perlu lagi meredam emosi dan energi negatif setiap saat. Damai. Hidup saya kembali indah.
But then, suatu hari, tanpa sengaja saya bertemu lagi dengan si Munah di satu kesempatan. Mulutnya masih beracun, auranya masih bikin panas, bikin saya gak betah berada di dekat-dekat dia lebih dari lima menit aja. Gayanya, kata-katanya, masih menyiratkan bahwa belum banyak yang berubah. Sepertinya dia masih merasa bahwa dia lebih baik, lebih benar, lebih mulia, dan nanti pasti masuk surga, sementara saya akan dilempar ke bagian paling bawah neraka karena saya tidak sependapat dengan kebenaran yang dia yakini.
Bitch.
Kesombongannya, jujur saja, nyaris membuat saya meledak. Syukurlah hari itu saya masih dilindungi, jadi batal ngamuk-ngamuk dan mempermalukan diri di tempat umum, hahaha. Sore itu saya pulang dengan hati dongkol, meski masih sanggup menjabat tangannya dengan senyum yang –saya usahakan– terlihat tulus.
Di rumah, saya termenung lama. Di dalam kepala, saya memutar ulang jalannya pertemuan gak sengaja dengan si Munah tadi. Saya jadi berpikir, bahwa jika selama ini saya selalu sebal dengan si Munah lantaran menganggapnya sombong dan tinggi hati, lantas apa bedanya saya dengan dia, ya?
Membencinya karena dia merasa bahwa pendapatnya adalah yang paling benar (sementara pendapat orang lain termasuk saya adalah salah dan dangkal), membuat saya sama sombongnya dengan si Munah. Kalau saya masih saja sebal, artinya saya merasa bahwa saya benar, dia salah. Saya merasa bahwa saya lebih oke, karena saya berpikiran terbuka, kekinian, dan dia ampun dah kayak orang jaman batu. Bahwa saya lebih pintar, sementara dia picik dan hatinya tertutup kabut hitam. Halah.
In short, I’m actually no better than this person. Ya gak? Sama-sama congkak. Sama-sama sombong. Sama-sama… bego?
Pertemuan itu pada akhirnya membuat saya belajar, bahwa menjadi manusia rendah hati memang gak gampang. Saya pribadi ternyata masih belum lulus ujian yang ini. Masih harus sekolah lebih lama. Harus belajar lebih serius, supaya dapat menjadi manusia yang lebih baik. Yang rendah hati (bukan rendah diri), yang tidak menganggap diri lebih baik dan lebih oke. Yang ‘Indonesia’. Karena katanya lagi, seperti dibilang di TVC Dji Sam Soe ini, kerendahan hati adalah salah satu ciri bangsa ini. Adalah gambaran jiwa Indonesia.
Selamat pagi! Selamat belajar (lagi) di sekolah kehidupan.
senang membaca tulisan ini, mbok ..
terima kasih, om :)
Dalem, Mbak… Mbak Venus yang ceria bisa bikin tulisan yang bikin kita kontemplatif.
Makasih ya, Mbak… semoga jadi reminder buat aku juga …
thanks udah baca, mbak :D
kerenss…
makasih mbak :)
dari judulnya saja sudah unik… makasi owner..
Aku pengen sekolah saham mbok :P *ra nyambung*
Anw, aku yo pernah dalam posisimu mbok mung nganti saiki sih ra kontak wae :))
Enak. Dunia terasa luwih apik. Hihihi
kan udah belajar basic2nya. tinggal dimatengin aja sih :p
lho kamu ngomongin siapa? :))
Nanti kalo kita kopdar, bisiki siapakah si Munah ini ya Mbok? :)
siap, nyonyah :D
Bahkan ketika buka FB lalu postingan mbok ini yang muncul, aku sadar bener bahwa Tuhan pun sedang mengajarkan aku perihal ini (resmi amat bahasanya). Sedikit bedanya, sekolah kehidupanku saat ini meminta aku untuk belajar ikhlas, mbok. Dan pelajarannya luarbiasa butuh perjuangan yang keras. Subhanallah, ikhlas itu enggak gampang ternyata. Thanks sharingnya, mbok. Maaf kalau komennya nggak nyambung nih :)
tulisan yang sangat kontemplatif Mbok .. really like this ..
jadi ingat kata-kata Pidi Baiq, “tetapkanlah pikiran kami selalu melangit dan hati yang selalu membumi.”
Mbo Venus, sangat menyentuh banget, ini kayak cermin buat saya yang harus rajin2 melihat dalam diri :D
Sekolah pada umumnya itu, belajar dahulu baru diuji. Tetapi sekolah kehidupan itu diuji dulu beru belajar. :)
Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru.
Terima kasih telah berbagi tulisan yang bermanfaat.
Terima Kasih artikelnya bagus, dan bermanfaat
makasih bos infonya dan semoga bermanfaat