Hari-hari raya, termasuk di dalamnya bulan Ramadhan, tak ubahnya seperti piñata siap pukul yang tergantung dengan cuma-cuma di atap teras rumah setiap orang. Bagaimanapun sang algojo memukul, piñata tersebut pada akhirnya tetap akan runtuh dan memuntahkan hadiah-hadiah menarik yang siap dijadikan rebutan oleh orang-orang di sekitarnya. Seperti gelombang promo yang tidak pernah surut di hampir seluruh pusat perbelanjaan, department store, gym, hingga perbankan.
Namun, ketika kita, para algojo piñata, sedang asyik dengan hadiahnya masing-masing, bisa jadi ada yang ikut bersenang-senang dengan cara yang tidak bertanggung jawab; para fraudster, istilahnya.
Fraudster adalah mereka yang melakukan fraud, yang memparafrase Wikipedia, yaitu suatu bentuk penipuan yang direncanakan demi mendapatkan keuntungan pribadi sembari mengganggu kehidupan dan kekayaan orang lain. Penipuan, lebih singkatnya. Tentu, penipuan atas dasar apapun tidak bisa dibenarkan dan masuk ke dalam kategori tindak kriminal. Kalau ditanya secara terang-terangan, rasanya tidak mungkin seorang penipu mengakui perbuatannya––gelarnya saja penipu. Tetapi, bagaimana jika sebenarnya salah satu dari kita pernah terlibar dalam praktik fraud, secara sadar maupun tidak?
Supaya lebih mudah dimengerti, contoh kasus yang akan saya tulis menitikberatkan pada sektor perbankan. Bukan, bukan karena saya tidak senang––bukan berarti saya senang, lho––menerima telepon penawaran kartu kredit terbaru setiap dua hari sekali, tetapi karena sektor ini biasanya berkaitan langsung dengan praktik fraud.
Pada hari-hari raya, misalnya, banyak bank penyedia jasa kredit dan debit bekerjasama dengan pusat perbelanjaan atau merchant tertentu untuk mengadakan promosi berupa point reward. Sederhana saja, pebelanja akan mendapat poin dalam jumlah tertentu setelah berbelanja dalam jumlah tertentu. Nantinya, poin tersebut dapat ditukarkan dengan banyak opsi, mulai dari toples-toples lucu hingga undian berhadiah kendaraan bermotor atau pesiar ke Kepulauan Karibia bahkan uang tunai. Sangat menarik dan tidak ada yang terdengar salah, memang.
Hal tersebut baru akan menjadi salah ketika pemegang kartu kredit dan debit menyalahi aturan penggunaan kartu dengan niatan tertentu. Nah loh.
Menurut aturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, kartu kredit dan debit hanya sah digunakan untuk melakukan transaksi pengambilan uang di mesin ATM serta melakukan pertukaran atau pembelanjaan dengan mesin Electronic Data Capture (EDC). Ada uang ada barang. Dalam hal ini, mesin EDC menjadi lebih rawan akan penyalahgunaan, karena tidak ada alat tukar yang terlibat secara fisik.
Misalnya, nih, ada promo undian berhadiah. Setiap berbelanja senilai Rp. 100.000,-, nasabah berhak mendapatkan 10 poin undian. Demi memperbesar kesempatan untuk memenangkan undian, nasabah dan pemilik merchant nakal bekerjasama dengan melakukan transaksi gesek tunai beberapa kali demi poin undian yang lebih banyak.
Contoh lain lagi, sudah banyak salon kecantikan yang sekarang menggunakan mesin EDC untuk keperluan salonnya. Saya sendiri punya jadwal rutin ke salon. Katakanlah, sebulan 2 kali. Entah untuk facial, creambath, atau mani-pedi. Sebagai pelanggan tetap, akan keliatan dong, berapa rata-rata jumlah yang biasa saya bayarkan untuk jasa perawatan salon rutin ini. Kalau kemudian tiba-tiba tercatat transaksi yang nominalnya tidak wajar, let’s say Rp 25 juta untuk perawatan sekali datang, tentu ini patut dicurigai sebagai fraud. Besar kemungkinan, ini adalah transaksi palsu, transaksi bodong. Entah untuk modus pencucian uang atau apalah. Semahal-mahalnya, masa iya untuk creambath aja harus bayar sampe Rp 25 juta, sih?
Kenapa transaksi palsu? Gesek tunai (gestun) punya peluang terjadi pada merchant tersebut, seolah-olah ada transaksi tapi sebenarnya tidak ada (tidak melakukan perawatan). Pelanggan menggesek kartu debit atau kredit di mesin EDC pemilik merchant sejumlah 25 juta yang nantinya pemilik mesin EDC akan mengembalikan uang tersebut dalam bentuk tunai. Jadi sebenarnya uang si pelanggan tidak kemana-mana, cuma diputar saja. Atau bisa saja transaksi bodong ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan atau meningkatkan kesempatan untuk memenangkan sebuah program undian.
Kok pemilik mesin EDC mau? Memangnya dia dapat apa? Nah, ini menariknya. Setiap kali gesek di mesin EDC, akan dikenakan charge 2,5%. Dalam kasus di atas, pemilik mesin EDC akan langsung menerima 2,5% dari pemilik uang. Jadi pemilik mesin EDC akan menerima 625.000 dan pemilik uang akan menerima cash 24.375.000. Ini jelas menguntungkan bagi penerima uang, karena walaupun harus bayar charge 2,5% ke pemilik mesin EDC, si penerima uang sebagai pemilik kartu debit atau kredit juga akan menerima cashback dari bank berupa point, dan pada nominal point tertentu point tersebut bisa ditukar dengan barang atau voucher yang memiliki nilai lebih besar dari yang dikeluarkan/diberikan kepada pemilik mesin EDC.
Praktik fraud lain yang melibatkan kartu kredit dan debit yang santer terjadi adalah praktik pencucian uang dengan metode gesek tunai atau gestun. Bank Indonesia sendiri, melalui Surat Edaran BI nomor 15/13/DASP menilai layanan jasa gestun di berbagai merchant non-ATM sebagai bentuk layanan jasa ilegal. Meskipun begitu, masih banyak merchant penyalahguna jasa gestun dengan dalih banyaknya permintaan. Padahal, dasar hukum penggunaan kartu kredit dan debit sudah termaktub dalam lembar syarat dan ketentuan––yang biasanya diabaikan––yang kita tanda tangani ketika membuka sebuah rekening bank; Undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang. Para pelanggarnya akan dihukum dengan pidana penjara selama 5 hingga 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,-.
Kemajuan teknologi sejatinya bertujuan mulia; mempermudah hidup dengan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan. Pendewasaan diri serta peningkatan moral pun dituntut sejalan dengan perkembangan zaman. Menaati aturan-aturan yang berlaku adalah penting, karena pada akhirnya, tindakan-tindakan yang menyalahi aturan, selain tidak keren, juga membuat permainan semudah piñata jadi lebih sulit––dan lebih kotor––seperti, anggap saja, panjat pinang, kan?
Masih bingung? Sini diskusi sama Simbok..
*gambar dari sini
Aku agak paham nih.
jadi gitu ya modusnya si undian-undian ituh. Baiklah..
iya, re. kamu jangan melakukan itu ya bu :))
Nambahin aja mbok, itu charge atau surcharge yang 2,5% seharusnya tidak boleh dibebankan ke kustomer sesuai PBI No.11/11/PBI/2009 Pasal 8
oiya, om. makasih. bisa dilaporin harusnya ya.. biasanya merchant-merchant kecil nih yg masih suka ‘nakal’ pake surcharge 3%.
Yeah, I was once a victim of credit card fraud. And for several years following that incident, I did not use CC at all, relied only on debit cards. :(
duh.. fraudster ini pinter2, tapi kepinterannya dipake buat jahatin orang ya… :(
Hmm, menarik nih. Tapi…
pinata itu apa sih? *ditapuk*
pinata itu yg digantung itu lho… yg dihias macem2 trus dalemnya isi permen atau mainan kecil2. coba google deh :p
Masih bingung pada paragraf ini:
“Kok pemilik mesin EDC mau? Memangnya dia dapat apa? Nah, ini menariknya. Setiap kali gesek di mesin EDC, akan dikenakan charge 2,5%. Dalam kasus di atas, pemilik mesin EDC akan langsung menerima 2,5% dari pemilik uang. Jadi pemilik mesin EDC akan menerima 625.000 dan pemilik uang akan menerima cash 24.375.000. Ini jelas menguntungkan bagi penerima uang, karena walaupun harus bayar charge 2,5% ke pemilik mesin EDC, si penerima uang sebagai pemilik kartu debit atau kredit juga akan menerima cashback dari bank berupa point, dan pada nominal point tertentu point tersebut bisa ditukar dengan barang atau voucher yang memiliki nilai lebih besar dari yang dikeluarkan/diberikan kepada pemilik mesin EDC.”
Siapa pemilik mesin EDC? Siapa pemilik uang? Siapa penerima uang? Siapa pemilik kartu debit atau kredit?
Kok penerima uang sebagai pemilik kartu debit atau kredit? Bukannya dia yang ngeluarin uang ya?
1. pemilik mesin EDC ya mechant, dong.
2. pemilik uang ya nasabah.begitu juga pemilik kartu (debit maupun kredit).
aku juga bingung jelasinnya, karena pertanyaanmu juga membingungkan, rif :))
jadi gini. pemilik kartu ngambil uang tunai di merchant pake mesin EDC. ini bukan ngambil kayak kita belanja di minimarket trus sekalian ambil cash, rif. yg fraud itu yg transaksinya diniatkan untuk, misalnya, pencucian uang. coba googling deh. banyak kasus2 kayak gitu.
mudah-mudahan cukup menjawab pertanyaanmu ya rif :)
bukankah selain menerima pendapatan sebesar 2.5% dari transakai, merchant juga harus membayar pajaknya bu?
*menganggum paham*
btw, waktu mau ngetik meni-pedi Simbok lagi mikirin apa kok sampe tertulis mani-pedi? :’)))))
yang bener memang mani-pedi. dari manicure-pedicure :D