Beberapa hari yang lalu, saya berbincang lewat telepon dengan seorang kawan lama. Sebut saja dia Kumbang, bukan nama sebenarnya. Seperti Venus yang juga bukan nama sebenarnya. Halah.
Oke. Gak terlalu penting siapa namanya, atau apa peran orang ini dulunya dalam kehidupan saya. Yang ingin saya ceritakan, adalah isi obrolan kami yang sampai blogpost ini ditulis, masih membuat kening saya berkerut.
Berikut ini ringkasan perbincangan kami berdua siang itu.
Kumbang: Apa kabar? Sehat? Tinggal di mana sekarang?
Saya: Alhamdulillah sehat. Masih di rumah yang dulu.
Dan seterusnya dan seterusnya. Kita skip saja bagian basa basi, karena bukan itu yang ingin saya ceritakan.
Kumbang: Eh tapi kamu ada mobil, kan?
Saya: Gak ada. Udah lama aku jual. Repot. Males ngurusnya.
Kumbang: Jadi naik apa kalau ke mana-mana?
Saya: Naik angkot, bus, ojek, taksi. Kenapa emang?
Kumbang: Oooo… Tapi ada motor, kan?
Saya: Gak. Tapi aku punya sepeda. Buat apa motor?
Kumbang: Ya buat kalo perlu ke minimarket, ke pasar. Kan butuh.
Saya: Gak. Minimarket deket, kok. Aku naik sepeda atau jalan kaki. Kalo lebih jauh ya naik angkot.
Selama percakapan berlangsung, saya membayangkan si kawan ini dahinya mengernyit dengan ekspresi iba, mengasihani saya yang mungkin dalam bayangannya hidup susah dan menderitaaaa banget.
Hari gini, tinggal di sini, gak punya mobil? Gak ada motor? Aduh, kasian amat. Mungkin itu yang dia pikirkan, karena jelas sekali nada kasihan terbaca dari suaranya di ujung telepon sana. Saya sendiri, karena malas menjelaskan ke orang-orang yang tidak satu visi (hayah!), memilih untuk tidak menjelaskan. Rasanya percuma ngoceh sampai berbusa tentang polusi udara, tentang ruwetnya jalanan, tentang betapa gak enak dan stressnya nyetir di Jakarta. Jadi dengan halus saya mengganti topik pembicaraan ke hal lain, yang membuatnya lupa akan rasa kasihannya ke saya. Haha.
Hari ini saya menuliskannya di sini, karena pikiran tentang apa yang dipikirkannya tentang saya sungguh menggelitik dan membuat saya gelisah.
Saya mengerti, di zaman ini, kesuksesan pada umumnya diukur dari apa yang kita miliki, atau seolah-olah kita miliki. Pakaian kita merk apa, beli di mana. Mobil kita (yang padahal cicilannya belum lunas itu) merk apa, keluaran taun berapa, harganya berapa. Telepon genggam yang selalu digenggam (karena untuk apa punya hape mahal tapi hanya untuk disimpan di tas, bukan untuk dipamerkan?), keluaran teranyar atau bukan. Kalo liburan ke mana. Ke Bandung doang? Yaaah… Sudah pernah ke Eropa?
And so on…
Semua di sekitar kita seolah berteriak, show me the money! Kamu punya apa? Katanya kaya. Katanya udah sukses. Mana buktinya?
Soal itu, bahwa kesuksesan ditentukan oleh apa yang kita punya, saya tidak sepenuhnya tak setuju. Bagaimanapun, kita butuh uang untuk hidup. Semakin banyak duit kita, semakin kita dianggap sukses. Ya, ya, itu juga ada benarnya.
Tapi kebahagiaan, saya rasa, sama sekali bukan itu patokannya. Kebahagiaan seseorang tidak selalu ditentukan oleh apa yang dia punya, seberapa banyak, seberapa mewah. Bisa juga seperti itu, namun tidak selalu.
Di zaman yang mengagungkan materi di atas segalanya seperti sekarang ini, kadang kita lupa bahwa kebahagiaan adalah urusan hati. Happiness is an inside job. Uang memang bisa membawa kita bersenang-senang menikmati hidup, tapi senang tidak selalu identik dengan bahagia, kan? Senang itu permukaan. Bahagia adalah soal lain.
Yang tidak saya jelaskan ke kawan saya itu (karena saya malas menjelaskan), adalah bahwa saya tidak punya mobil atau motor, karena saya lebih nyaman hidup tanpa itu. Saya gak beli karena merasa gak butuh. Untuk mobilitas, saya lebih memilih jalan kaki, naik sepeda (kalau jaraknya dekat), atau naik kendaraan umum. Rasanya gak tega dan merasa bersalah menambah keruwetan jalanan yang sudah sebegini parah. Gak, deh. Saya gak pengen punya mobil pribadi. Daripada buat beli mobil, saya lebih suka menginvestasikan uang saya di saham. Atau beli property. Atau, kalau saya punya uang yang banyak sekali sampai bingung mau dibelanjain apa, saya mau banyakin beramal aja. Pengen punya rumah satu lagi buat nampung kucing-kucing terlantar. Atau apa, kek, yang ada gunanya buat orang atau makhluk lain.
Duitnya masih banyak, gak habis-habis? Saya tetep gak beli mobil. Mendingan saya ajakin anak-anak saya jalan-jalan keliling dunia. Bodo amat gak kelihatan gaya karena ke mana-mana cuma naik bus. Gaya gak bisa dimakan, gak bisa menjamin nantinya kita bisa hidup nyaman dan tenang di masa pensiun.
So is happiness really an inside job? Oh yes it is, dear. It is, really.
*gambar dari sini.
ini juga yang sedang saya pikirkan dan (juga ingin) saya tulis.
kebahagiaan lewat harta adalah omong kosong, tapi ya itu kaya yang mbak tulis di atas.
pandangam sosial dan gengsi yang bikin jadi ribet.
Mbokk… “Show me the money” itu program musik hip hop Korea *trus aq diuncalke teko Kenjeran* :))))
Tapi serius aku setuju kok, bahagia itu soal rasa dalam hati…meski soal transport aku masih motoran, la ga betah nnunggu busway sampe pernah 1,5 jam kering gigi di halte transit ^_^
Tapi sekarang sesekali ngeGojek sih :D
saya tuh selalu kagum atas keberhasilan simbok membebaskan diri dari hal hal yang menguras uang tapi menyusahkan diri ituh.
ya itu.
salah satunya tentang nyetir sendiri, terlebih di jakarta, ya memang bikin stress. tapi gak banyak orang yang mau melepaskan diri dari sumber stress demikian. mungkin, saya juga serupa dengan kebanyakan orang itu.
eh, bukan mungkin.
saya sama saja kelakuannya begitu. :D
aih simbok syahdu sekali.
semoga selalu dicukupkan rejekinya ya mbok.
cita2 buat rumah penampungan kucing, atau keliling dunia bareng anak2 bisa terwujud.
:mrgreen:
Pemikiran yang bertentangan tapi mengandung nilai positif…Saat ini pikiran saya juga hampir mirip pikiran simbokvenus… hehe