Tak ada yang abadi di dunia ini. Tidak ada yang tak berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Kalimat bijak tadi pasti udah cukup sering kita dengar atau kita baca. Dulu, saya menyukainya –kadang menyelipkannya di sana sini— karena terdengar bagus, dan membuat saya terlihat bijaksana dan pintar. Haha!
Tapi, semakin hari saya semakin mengerti dan mengamini kebenaran dari kalimat tadi.
Perhatiin deh. Gak usah jauh-jauh. Cukup hal-hal sederhana di sekeliling kita aja. Apa sih, yang gak berubah? Gaya hidup, fashion, ilmu kedokteran, semua berubah dari waktu ke waktu. Trend olahraga juga sepertinya setiap 2 tahun sekali ganti-ganti.
Duluuu banget, ibu-ibu di komplek seneng banget senam aerobik, bahkan bikin kelas dan ngundang guru senam ke sanggar senam di perumahan. Gak lama kemudian, orang tergila-gila dengan pilates. Tak lama, kita semua terpesona dengan zumba dance. Daaaan seterusnya dan seterusnya.
Bersepeda, yang dulunya aktivitas biasa dan gak ada istimewanya, beberapa tahun belakangan menjadi olahraga yang terlihat keren. Yang harga gear-nya bisa puluhan bahkan ratusan juta. Makin mahal, makin keren dan gaya. Padahal dulu di desa, saya ya tiap hari naik sepeda ke mana-mana.
Olahraga lari juga sekarang jadi ‘olahraga wajib’ orang-orang kota. Kalo gak lari, kurang kekinian. Hahaha. Entah siapa yang membuat kegiatan lari-larian ini jadi sesuatu yang dianggap berkelas dan gaya begini. Dulu mah biasa aja.
Itu baru ngomongin olahraga.
Apa lagi yang berubah, yang perubahannya barangkali bahkan tak terpikirkan pada 10 atau 20 tahun yang lalu? Menurut saya, teknologi informasi. Ini gila bener. Sekarang informasi apa pun bisa kita dapat dengan mudah dan instan. Yang terjadi di belahan bumi sebelah sana, mungkin pada detik yang sama, informasinya udah nyampe ke kita, yang berada ribuan kilometer jauhnya.
Belum lagi imbasnya ke industri media. Kata orang, era ini adalah senjakalanya media cetak. Sudah tak terhitung berapa banyak majalah, tabloid, dan koran, yang bertumbangan, karena ledakan tak terbendung teknologi digital.
See, tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Suka gak suka, ya memang beginilah yang kita semua sedang hadapi.
Tergabung di sebuah forum yang membahas berbagai isu perbankan di Facebook (YA ALLAH, KENAPA SIH TEMEN-TEMENKU INI KAYAK KURANG KESIBUKAN? SEGALA ISU PERBANKAN DIBAHAS), saya tergelitik dan jadi merhatiin satu hal kecil yang barangkali terlewat oleh kita: gimana dengan dunia perbankan, ya? Apakah mereka cukup berinovasi, apakah mereka siap menghadapi derasnya teknologi informasi dan digitalisasi yang bagai tak kenal ampun?
Perhatiin deh. Kalau dateng ke kantor cabang bank tempat kita nabung, apa yang kita lihat di sana? Ruang tunggu dengan puluhan kursi berjajar, sederet petugas teller, bapak petugas security dengan senyum dan sapaan template, dua atau tiga mbak-mbak customer service, antrean panjang nasabah yang hendak setor tunai, mengisi formulir setoran atau tarikan tunai? Persis. Di hampir semua kantor cabang bank, sejak 20 tahun yang lalu, saya yakin pemandangan ini gak berubah. Padahal, hari gini, bukannya industri perbankan harusnya juga beradaptasi dan melakukan inovasi untuk menahan gempuran teknologi digital, ya?
Saya kok ngeri. Tanpa kemampuan DAN KECEPATAN beradaptasi, bagaimana mereka akan survive di era ekonomi digital? Semua orang rame ngebahas FinTech, tapi industri perbankan masih gini-gini aja, apa bisa tetep hidup? Mungkin gak akan semudah itu juga kolaps (amit-amit, semoga nggak), tapi tanpa inovasi yang dibutuhkan, bagaimana perusahaan mereka akan bertumbuh? Era digital, menurut saya, bukan sekadar soal teknologi. Namun juga perubahan gaya hidup, juga cara berpikir kita (baca: konsumen dan nasabah) pun berubah. Cepat atau lambat, tak bisa dipungkiri, masa depan dunia akan dipenuhi dengan gebrakan-gebrakan digital. Indonesia pun tak luput dari gebrakan itu. Ini sedang, dan SUDAH terjadi. Dalam pandangan saya, bahkan para pelaku industri perbankan bukan hanya harus mampu beradaptasi dengan baik, namun juga harus agresif membenahi diri dalam hal pelayanan dan fasilitas untuk nasabah. Kalau nggak, gimana mereka akan survive? Saya gak bilang bahwa semua bank berada di ambang kepunahan jika enggan berbenah, namun jika mereka tidak segera melakukan sesuatu yang inovatif dan kreatif, saya yakin ,hanya beberapa bank bermodal besar saja yang akan mampu bertahan.
Beberapa bank yang menurut saya sudah memanfaatkan teknologi digital dengan sangat cerdas, sayangnya, bukan bank yang ada di Indonesia. Di sini kayaknya masih tradisional deh, haha. Palingan yang cukup inovatif ya model e-wallet yang bisa buat bayar tol. Kalo mobile dan internet banking, kayaknya sekarang memang wajib ada ya. Bisa dibilang itu fasilitas standar.
Di Polandia, ada mBank yang fully internet-based, sehingga hampir semua transaksi perbankan dapat dilakukan oleh nasabah tanpa harus datang ke kantor cabang. Transfer atau kirim uang semudah mengirim SMS, bahkan bisa lewat akun Facebook! Mereka juga punya layanan Individual Investment Advisory yang dapat memberikan saran dan rekomendasi investasi secara personal untuk nasabah.
FNB Bank di Afrika Selatan mendesain kantor-kantornya dengan desain unik, canggih, yang akan memberikan pengalaman perbankan yang berbeda.
Standard Bank, juga di Afrika Selatan, mengembangkan PlayRoom Innovation Center yang memungkinkan semua staf dan pelanggan mereka menjajal langsung inovasi-inovasi terbaru mereka, dan memberikan feedback saat itu juga. Canggih banget! Di sini kapan ya ada beginian?
Kita tunggu saja.
*foto dari sini
orang kota kalo gak lari, gak kekinian ahahahahahaha duh aku tertampar
ehehehehe
Sekitar 6 tahun lalu, aku pernah membahas hal ini, Mbak. Sewaktu ada rapat internal di kantor, saat masih kerja di bank. Kita sudah memperkirakan kalo mungkin 5 sampai 10 tahun ke depan, dari waktu itu, perbankan akan berubah. Sudah akan ada perbankan yang fully online. Semua transaksi dilakukan online, bahkan pembukaan rekening sekalipun. Jadi petugas seperti Relationship Manager sudah tidak akan diperlukan lagi, diganti oleh system komputerisasi.
tapi gak kejadian ya? sayang banget. padahal sekarang apa2 semua serba online memang ya..
Saat ini online registration sudah ada tapi tetap dibutuhkan verifikasi tatap muka antara nasabah dan petugas bank. Bukan disebabkan sistem tidak mampu mengakomodir tapi regulasi yang membatasi. Faktor pemerintah juga berpengaruh, perbankan akan terus berinovasi tapi dalam batas koridor regulasi yang sudah ditetapkan. Karena bank bersifat scrutiny, tindak tanduknya diawasi oleh publik.
sekarang kalau sistem perbankan di Indonesia beerbasis komputer semua, dibikin serba canggih dgn teknologi yang terkini, tapi kalau nasabahnya gaptek, mereka ( nasabah) malah akan beralih ke bank yang masih mengadopsi cara lama. Untuk berevolusi jangan hanya memperhatikan dari faktor bank, tapi dari faktor nasabah juga, bank tanpa nasabah bisa kolap.
terima kasih utk info FINTECH DAN DUNIA PERBANKAN INDONESIA
sangat bermanfaat.
Terima kasih.. sukses selalu Blognya keren.