September tahun lalu, bersama team Jejak Mahakarya, untuk pertama kalinya saya mengunjungi Wamena. Kota yang kecantikan alamnya menghipnotis saking indahnya ini, terletak di lembah Baliem yang secara topografi berbentuk seperti mangkok, dipagari barisan pegunungan di sekelilingnya.
Sebelum berangkat, temen-temen yang sudah pernah ke sana mengingatkan bahwa biasanya listrik padam kalau sudah malam. Jadi mereka menyarankan untuk membawa bekal power bank banyak-banyak. Supaya siang saat kami jalan, powerbank cadangan sempat di-charge, dan sudah penuh saat kami kembali ke kamar hotel pada sore atau malam hari.
Waktu itu saya bela-belain beli powerbank baru, plus satu powerbank tenaga surya yang bisa dicantelin di ransel, supaya gak perlu panik kehabisa baterai hape selama di jalan. Hiks. Orang kota banget, yak? Gak bisa hidup tanpa handphone :(
Ternyata betul apa yang diwanti-wanti temen saya tadi. Tiap malam, selama 3 malam di sana, listrik tiba-tiba mak pet aja, padam atau dipadamkan tiap jam 8 malam. Untungnya, jam segitu biasanya kami masih ngobrol di lobby yang juga merangkap tempat makan. Sambil minum kopi setelah makan malam, kami masih ketawa ketiwi sambil membahas pengalaman naik turun bukit siang harinya. Lalu, biasanya jam 9 malam, kami semua bergegas balik ke kamar masing-masing …
Yang jaraknya dari lobby…
Jauh banget…
Jalannya nanjak…
DAN GELAP TANPA PENERANGAN APAPUN. PITCH BLACK.
Hiiiy…
Jadi, di kegelapan, sambil mengandalkan senter darurat dari aplikasi di hape, saya harus berjalan merambat, pelan-pelan dan super hati-hati, supaya gak nabrak atau jatuh tersandung.
Saya benci hidup tanpa listrik. Bahkan saat di rumah, yang listriknya sesekali padam kalo lagi hujan deras, saya bete gak bisa kerja gak bisa ngapa-ngapain, karena wifi di rumah mati kalo listriknya mati. Gak kebayang hidup di daerah terpencil, yang sudahlah jauh dari mana-mana, harus gelap-gelapan pula setiap malam karena tempat tinggalnya belum punya akses listrik.
Fyi, daerah seperti itu, yang malam-malamnya harus dilewati dalam gelap total tanpa penerangan dari listrik, yang anak-anaknya harus belajar dan bikin PR hanya dengan penerangan seadanya, itu masih buuuuuuanyak. Ada ribuan desa di seluruh wilayah Indonesia yang hingga saat ini belum menikmati listrik. Ada jutaan anak yang belajar setiap malam hanya ditemani lilin atau lampu teplok sederhana. Ada jutaan keluarga yang hidup tanpa siaran televisi, apatah lagi menikmati akses pengetahuan dan berita global lewat internet. Buat mereka, barangkali, ini adalah kemewahan yang sama sekali tak terjangkau.
Yang membuat saya sedih, adalah membayangkan betapa sulitnya bagi anak-anak ini untuk bersaing di masa depan, kelak ketika mereka dewasa. Bagaimana mereka dapat menyamai kemampuan dan pengetahuan saudara-saudaranya yang dengan mudah mencari tahu tentang banyak hal lewat internet, yang boleh dibilang mustahil bisa diakses tanpa listrik.
Di Hari Listrik Nasional yang jatuh tepat pada hari ini, 27 Oktober 2016, boleh dong ya, saya berharap pemerintah segera mewujudkan Program Indonesia Terang. Supaya Indonesia menjadi benderang secara merata, bukan hanya di Jawa atau di kota-kota besar aja. tapi sampai jauuuuuuh ke pelosok-pelosok desa terpencil. Ke daerah pegunungan. Ke lembah-lembah. Ke pedesaan di tengah hutan. Supaya setiap anak Indonesia bisa belajar dengan nyaman, supaya setiap keluarga dapat menikmati fasilitas listrik yang sama dengan kita semua orang-orang kota ini, di manapun mereka berada selama masih di wilayah Indonesia.
Semoga cita-cita rasio elektrifikasi mendekati angka 100% beberapa tahun mendatang segera tercapai. Mudah-mudahan Indonesia segera terang merata, dan mudah-mudahan dengan program listrik 35000 MW yang dicanangkan pemerintahan Pak Jokowi, tarif listrik bisa ditekan lebih murah dan terjangkau bagi semua kalangan masyarakat.
Selamat Hari Listrik Nasional! :)
*foto dari sini.
Bener banget, gimana mereka bersaing di MEA nanti kalo listrik aja mereka ngak punya sednagkan sodara2 nya yg lain sudah melek internet segala
betul kak cumiiii… ah aku padamu deh :))