Biasanya kalau disebut nama ‘Bali’ yang langsung terbayang adalah pasir putih dan pantai. Padahal sebenarnya, masih banyak tempat yang bisa dijelajahi dan tetap bisa menikmati keindahan alam pulau Dewata ini.
Seperti keseruan yang kami lakukan bersama teman-teman Jejak Mahakarya Indonesia pada Agustus 2016 lalu, belajar memasak di Rumah Desa Bali, kecamatan Marga, kabupaten Tabanan. Di tempat yang asri, di ruangan semi terbuka ini kami bisa lebih mengenal kuliner khas Bali.
Berbagai bumbu rempah yang sudah disiapkan di atas meja. Proses mengiris, menumbuk, menghaluskan bumbu dilakukan bersama-sama. Satu demi satu bumbu dicampurkan pada potongan daging ayam dan daging sapi dan diaduk hingga bumbu tercampur rata.
Begitu juga saat membuat sate lilit. Ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Bukan saja hanya mengepal-ngepalkan daging giling berbumbu pada batang serai. Sembari menempelkan daging pada batang serai dengan cara agak ditekan agar padat melekat, batang serai pun harus diputar perlahan. Tak masalah bentuknya ada yang tebal, ada yang tipis. Kan, namanya belajar.
Di Rumah Desa inilah, saya baru tahu bahwa untuk menanam kelapa (yang daging maupun minyaknya banyak digunakan dalam masakan Bali) pun tidak sembarangan. Ada cara tradisional agar tunas kelapa bisa segera tumbuh yaitu melempar buah kelapa ke tanah. Bagaimana posisi buahnya saat jatuh tergeletak, dengan posisi seperti itulah buah kelapa ditanam.
Sebenarnya proses belajar memasak tak hanya sebatas mengenal berbagai macam bumbu atau meracik dan mencampurnya dengan bahan-bahan lain. Tapi bisa pula masuk ke dapur dan ikut memasak. Nah, yang hasil dari kursus masak kilat ini bisa dinikmati saat makan siang. Tentunya dengan tambahan menu lain. Sate ayam dan sate lilit lengkap dengan bumbu kacang, tum ayam, kerupuk, daging sapi kecap, lawar, ayam sisit sambal mata, dan sambal merah menjadi hidangan komplit yang siap untuk disantap.
Nah, setelah uji cita rasa dan makan enak di Rumah Desa. Di Jatiluwih giliran kekuatan fisik kami diuji. Bersepeda! Mau uphills atau downhills track? Tapi tenang saja, road track biasa juga ada, kok. Jadi bisa santai bersepeda di jalan raya sambil melihat-lihat bentangan sawah-sawah hijau di perbukitan.
Desa Jatiluwih, kecamatan Penebel, Tabanan sejak dulu dikenal dengan hamparan persawahan di lahan terasiring. Petak-petak sawahnya berudak di lahan miring, diairi dengan sistem pembagian air yang diknal dengan istilah subak. Para petani menanam padi dan mengolah sawah turun-temurun seperti yang diwariskan generasi sebelumnya, menghasilkan beras organik dengan mutu yang sangat baik. Tak heran kalau akhirnya kawasan ini mendapat dijadikan salah satu The World Heritage oleh UNESCO.
Kontur tanah yang berbukit-bukit membuat jalur yang dilewati naik-turun dan berkelok. Tapi walaupun jalanan beraspal yang dilewati tidak terlalu lebar, dan sesekali berpapasan dengan kendaraan lain, jalur ini tetap aman. Asal tidak bersepeda ugal-ugalan, ya.
Tak melulu menggowes sepanjang perjalanan, kami pun sesekali berhenti, menikmati indahnya pemandangan sambil menunggu teman yang tertinggal di belakang. Secara tidak langsung kita belajar untuk saling selama perjalananan.
Beda lagi saat mampir di desa adat Panglipuran, Bangli. Melihat pura besar yang berdiri di ujung desa menjadi penanda bahwa sebagai wisatawan kami harus mulai menjaga kelakuan di tempat yang dikunjungi.
Dari pelataran di halaman depan pura, terbentang desa adat Panglipuran. salah satu desa adat di Bali Timur yang masih memegang kuat adat istiadat. Jalan utamanya cukup lebar, membelah desa. Tak ada kendaraan bermotor melintas. Di desa semua harus berjalan kaki.
Rumah-rumah dibangun di dua sisi. Gapura-gapura kecil menjadi pintu masuk ke halaman. Di setiap halaman terdapat beberapa rumah yang terbuat dari gedhek (anyaman bamu), dan beratapkan daun kelapa. Warna atapnya mulai menghitam terpapar udara panas dan hujan.
Siang itu tak banyak orang berlalu lalang, karena ternyata semua warga sedang berkumpul di Balai Desa mempersiapkan upacara Ngaben yang puncak acaranya akan dilakukan beberapa hari lagi.
Ada puluhan keluarga yang akan ikut dalam upacara Ngaben. Di semacam bangsal semi permanen yang bersekat-sekat, puluhan keranda dari bambu dijajarkan di atas meja-meja. Bagian atasnya diselimuti kain. Di dinding dipajang foto mendiang.
Sampai upacara Ngaben, para keluarga mendiang bergotong-royong mempersiapkan segala keperluan. Salah satunya menyiapkan makanan untuk sesaji berupa nasi dan lauk-pauk yang masing-masing diletakkan di wadah daun pisang. Setiap sesaji diletakkan di dekat ujung keranda. Makanan pun berganri 3X sehari, layaknya kita yang masih hidup.
Di Panglipuran, upacara Ngaben dilaksanakan tidak dengan cara membakar jenazah. Melainkan jenazah dikuburkan di lahan pekuburan yang terletak tak jauh dari desa. Setelah upacara Ngaben selesai barulah semua keluarga mendiang lega, berharap arwah yang meninggal mencapai surga bertemu dengan para leluhur sebelumnya.
*foto dari kamera sendiri, kamera hape, dan kamera kawan-kawan seperjalanan :))
Ah, aku kangen.