Sekotak paket combo dari sebuah restoran cepat saji yang punya nama besar, dengan tertib dan cepat diedarkan ke seantero ruangan. Semua yang hadir duduk manis di tempat masing-masing, menunggu jatah kotak makanan dibagikan.
Saya mengamati sekeliling. Suara riuh bocah-bocah, tepat seribu anak jumlahnya, yang sejak sore tadi meriah bersahut-sahutan dengan suara kakak-kakak host yang memandu acara istimewa ini, berganti menjadi gumam samar. Bocah-bocah itu, tamu istimewa yang sesungguhnya menjadi bintang acara buka bersama malam itu, sedang sibuk membuka dan mulai menyantap hidangan buka puasa yang sudah disiapkan untuk mereka. Hati saya menghangat. Mata saya juga…
Sekilas saya mengintip apa isi kotak yang ada di depan saya. Oh. Ada nasi putih dalam bungkus kertas, lalu ada burger, juga sepotong ayam goreng tepung. Alhamdulillah, buka puasa. Alhamdulillah pula, menu buka puasa kami semua ternyata sama persis dengan menu berbuka yang sedang dinikmati oleh anak-anak kekasih Allah ini.
Sebetulnya saya belum terlalu lapar meski sudah berpuasa seharian. Jujur, menunya juga buat saya kurang menarik. Terlalu biasa. Apa istimewanya sih, ayam goreng krispi, burger, dan sekepal nasi? Tapi melihat kegembiraan anak-anak yang memenuhi ballroom Kuningan City ini, menyaksikan mereka dengan lahap menikmati suapan demi suapan sambil tetap saling berkomentar dan berceloteh, saya tercekat. Saya maluuuuu banget. Tiba-tiba saya merasa sangat kerdil, merasa tak tahu diri.
Males makan karena menganggap makanannya biasa aja. Ckck. Padahal untuk jutaan orang lain, buat 1000 anak yatim yang malam itu diundang khusus untuk berbuka puasa bersama para karyawan dan pimpinan PT Adaro Energy Tbk, menu yang ‘biasa aja’ ini barangkali bukan sesuatu yang bisa setiap saat mereka nikmati. Tidak seperti anak-anak seumuran yang lebih beruntung, yang tumbuh di keluarga ‘normal’, barangkali mereka harus menabung dulu supaya bisa makan burger dan ayam goreng krispi. Barangkali mereka harus menahan keinginan tiap kali melihat iklan makanan ini. Karena jangankan untuk jajan sesukanya, bahkan orangtua kepada siapa mereka bisa minta uang jajan pun, mereka tak punya.
Duh…
Tanpa buang waktu, dengan penuh rasa syukur –dan rasa bersalah– lantas saya menyantap sekotak paket combo, menu buka puasa kami semua malam itu. Dengan khidmat. Sesuap demi sesuap.
Ternyata mungkin memang fitrahnya manusia ya? Kita suka lupa, dibandingkan orang lain, betapa beruntungnya kita sebetulnya. Begitu banyak kemudahan, kelonggaran rezeki, kesehatan, keluarga yang lengkap dan ‘normal’, yang kadang lupa disyukuri. Keseharian kita tidak jauh-jauh dari mengejar uang dan kebahagiaan duniawi yang bisa jadi semu. Kita lalu lupa, sebanyak apa sih sebetulnya yang kita butuhkan? Apa artinya cukup? Kapan kita akan merasa cukup?
Ah, sudah ya, curhat mellownya. Hahaha.
Malam itu, saya senang sekali bisa hadir lagi di acara tahunan Adaro seperti tahun lalu, tahun sebelumnya, dan tahun sebelumnya lagi. Buka bersama 1000 anak yatim yang diundang khusus oleh Pak Boy Thohir, bahkan beliau sendiri yang setiap tahun selalu memilih menu dan pengisi acara yang tampil menghibur anak-anak ini.
Setiap kali, saya selalu merasa mendapat sesuatu yang baru. Bukan hanya makan enak, tapi juga energi baru, kesadaran baru. Rasanya seperti disiram seember air dingin. Segar. Seperti mendapat tenaga tambahan untuk melanjutkan hidup, meneruskan tugas dan kewajiban membawa manfaat bagi sesama makhluk Tuhan.
Suatu siang, di ruang tunggu bandara KLIA2 di Malaysia, nggak sengaja saya mendengar percakapan beberapa ibu yang duduk tepat di depan saya. Ibu-ibu ini, dari logatnya, terdengar seperti orang Jakarta. Dan kesan saya, dari isi percakapan tersebut, mereka sedang menunggu pesawat untuk pulang ke Jakarta, setelah menengok kerabat yang sedang berobat di salah satu rumah sakit di Melaka, sebuah kota yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kuala Lumpur.
Beberapa ibu ini lantas bergantian bercerita tentang pengalaman anggota keluarga yang lain, yang juga pernah berobat di Melaka. Iya, mereka khusus membahas Melaka siang itu. Yang sudah-sudah, yang paling sering saya dengar selama ini, orang Indonesia kalau berobat ke Malaysia, biasanya ke Penang. Melaka, baru siang itu saya tahu.
Karena obrolan mereka cukup seru, beberapa calon penumpang yang sama-sama sedang menunggu pesawatnya berangkat, jadi ikutan nimbrung. Ada yang bertanya tentang prosedur berobat, biayanya, kerepotannya, apa aja yang harus disiapin, dan sebagainya. Sebagian lagi berkomentar dan menceritakan kisah kerabat atau kenalan yang sukses menjalani berbagai perawatan di rumah-rumah sakit lain. Di Kuala Lumpur, atau, lagi-lagi, di Penang. Nampaknya memang Penang sudah lama menjadi destinasi utama orang Indonesia yang ingin berobat ke Malayasia, ya?
Nah, tanggal 1 – 3 Mei yang
lalu, saya berkesempatan untuk melihat langsung, berkunjung ke beberapa
fasilitas kesehatan di Kuala Lumpur, atas undangan Malaysia Healthcare Travel Counsil
(MHTC). Bersama puluhan delegasi/undangan dari Brunei, Myanmar, dan Malaysia
sendiri, selama 3 hari berturut-turut, saya dan rekan-rekan media dan blogger
dari Indonesia diajak mengalami sendiri
wisata kesehatan, berkeliling ke beberapa rumah sakit yang bekerjasama dengan
MHTC.
TENTANG MHTC
Malaysia Healthcare Tourism Council berdiri sejak tahun 2012, berada di bawah Kementrian Kesehatan Malaysia. Namun sejak tahun 2018, MHTC kemudian menjadi bagian dari Kementrian Keuangan.
Tapi, sebenernya MHTC ini
apa, siapa? Apakah ia sebuah lembaga pemerintah, swasta, atau apa?
MHTC adalah sebuah agency
yang tugasnya mempromosikan health tourism atau wisata kesehatan untuk para
pasien dari seluruh dunia ke rumah sakit-rumah sakit swasta di Malaysia. Di seluruh
Malayasia, hingga saat ini tercatat 79 RS swasta yang bekerjasama dengan MHTC.
Mereka tersebar di beberapa kota; Kuala Lumpur, Melaka, Ipoh, dan Penang yang
udah duluan terkenal sebagai tujuan berobat ‘orang kita’.
Kenapa hanya swasta? Karena
di sana, RS pemerintah hanya melayani warga negara Malaysia saja. Sedangkan
pasien dari luar Malaysia, berobatnya harus ke RS swasta. Demikianlah
kira-kira.
MHTC, dalam mempromosikan fasilitas-fasilitas kesehatan ini, akan memastikan semua pasien (bahkan juga keluarga pasien) mendapatkan layanan yang prima, dari awal sampai akhir. Bener-bener smooth dan seamless seperti yang saya alami sendiri saat berkunjung langsung ke sana.
Bayangin. Misalnya nih, amit-amit jangan sampe kejadian sih yaa… bayangin kita nganter anggota keluarga yang sakit, perlu nyari second opinion, atau harus terapi kesehatan, atau sekadar medical check up. Pasti kebayang repotnya mengurus segala administrasi, keberangkatan, transportasi, urusan menginap, dan sebagainya, kan. Belum lagi harus menentukan ke rumah sakit mana kita akan berobat, konsultasinya ke siapa. Malaysia Healthcare Tourism Council akan membantu pasien dan keluarga mengurus semua ini, benar-benar stress-free dan end-to-end service deh pokoknya.
Sebelum berangkat, selagi
masih di Indonesia, pasien dapat menghubungi MHTC lewat perwakilan mereka di
Jakarta. Bisa lewat email, telepon, bahkan social media juga loh. Kita bisa
minta rekomendasi rumah sakit yang tepat sesuai tujuan kita berobat atau
berkonsultasi, membantu membuatkan appointment dengan dokter yang dirujuk,
memberikan estimasi biaya dari beberapa pilihan perawatan, bahkan kita juga
bisa nanya hotel yang cocok, dekat dengan fasilitas kesehatan tujuan, dan yang
sesuai dengan budget kita.
Setelah semua settled, pada
tanggal keberangkatan, pasien dan keluarga yang mengantar tinggal pergi ke
bandara, dan sesampainya di sana akan langsung dijemput di area kedatangan,
dibantu lewat fast track imigrasi (jadi tidak perlu antre berlama-lama),
dipersilakan menunggu jemputan/ambulans di lounge ekslusif MHTC, kemudian
diantar sampai ke rumah sakit. Luar
biasa banget kan? Saya yang selama ini hanya mendengar cerita atau baca
pengalaman orang aja, takjub dengan totalitas pelayanan yang diberikan MHTC.
Pantesan makin hari makin banyak aja orang Indonesia yang memilih untuk berobat
ke sana ya.
Sebagai catatan, pada tahun
2011 ada 600 ribu wisatawan yang berobat ke Malaysia. Tahun 2018, jumlahnya
menjadi dua kali lipat, yaitu 1,2 juta orang, dan 700 ribu di antaranya adalah
dari Indonesia.
LAYANAN
Dari sekian banyak layanan
kesehatan, ada beberapa yang menjadi andalan fasilitas kesehatan di Malaysia.
Yang paling populer di antaranya; cosmetic treatment, IVF/kesuburan, oncology,
cardiology, dan medical screening.
Secara pribadi, yang paling
sering saya dengar selama ini orang kalo berobat ke Malaysia biasanya untuk
kasus-kasus penyakit jantung dan kanker. Setelah ke sana, saya membuktikan
sendiri bahwa memang benar proses pemeriksaan, cek lab di sana bener-bener
nyaman dan cepet. Ada yang cuma perlu sehari dari awal periksa sampai pasien mendapatkan hasil lab,
dan konsultasi perawatan/terapi yang sesuai untuk penyakitnya. Nggak perlu
lama. Gak perlu berhari-hari atau dilempar ke sana sini. Di beberapa tempat,
bahkan layanan untuk kasus jantung, kanker, dan in vitro dipusatkan di satu
gedung atau bahkan satu lantai saja. Nggak perlu pindah-pindah ke beberapa
tempat untuk satu rangkaian pemeriksaan.
Di Gleneagles Kuala Lumpur (GKL), pasien akan merasakan
pengalaman berkonultasi dan berobat dengan dokter spesialis pakar di bidangnya,
dengan peralatan super canggih, dan keramahan para staff yang memeperlakukan
pasien seperti keluarga sendiri.
Siang itu kami sempat bertemu dan mendengar pengalaman seorang pasien jantung dari Bali yang sembuh setelah menjalani operasi by pass. Malam sebelumnya, Mr Lin dari Surabaya, seorang penderita kanker limfoma, berbagi pengalaman dan kisahnya yang sembuh total dari penyakitnya setelah berobat di Malaysia. “They have all the skills, all the equipments. Jangan ragu untuk berobat ke sini,” demikian kesaksian Mr Lin yang disambut tepuk tangan gemuruh yang hadir di acara welcoming dinner.
BIAYA
Ini pasti pertanyaan
terbanyak deh. Saya juga tadinya penasaran banget. Dengan pelayanan dan
fasilitas premium seperti yang diberikan, berapa ya kira-kira biaya yang harus
kita keluarkan? Semahal apa ya?
Sebagai perbandingan, silakan lihat foto di bawah ini:
Selama di Kuala Lumpur, saya
kebagian berkunjung ke Gleneagles KL, Thomson Medical Centre (TMC) Fertility
& Women’s Specialist Centre Kota Damansara, dan ke GHSS Healhtcare yang
merupakan gabungan resort, hotel, dan fasilitas holistic healthcare.
Siapa tau suatu saat butuh
berobat, mencari second opinion, atau sekadar medical check up dengan
fasilitas, alat, dan pelayanan premium tanpa repot, di bawah ini informasinya
ya..
Kantor Perwakilan
Malaysia HealthCare di Indonesia:
International Financial
Centre 2, Level 33, Unit 41,
Jalan Jenderal Sudirman Kav
22-23, Jakarta Selatan 12920.
Sejak jauh-jauh hari waktu pertama kali diajakin ke Cilegon, kami sudah diwanti-wanti untuk nggak lupa bawa topi dan payung. ‘Karena Cilegon itu daerah pantai, takutnya mendadak angin atau hujan,’ begitu pesan yang saya terima.
Baiklah. Jadi biarpun prediksi hujan dan angin itu nggak terbukti, di ransel merah udah saya siapin topi dan payung. Buat jaga-jaga.
PROGRAM KAMPUNG RAMAH LINGKUNGAN
Cilegon adalah kota pantai yang terletak kurang lebih 100 kilometer jaraknya dari Jakarta. Yaaa kira-kira 2 jam deh kalo naik mobil tanpa macet.
Kota ini dulunya (mungkin sampai sekarang) akrab dengan julukan Kota Baja, karena di sini memang ada pabrik baja terbesar di Asia Tenggara. Eh bener kan ya? Setidaknya, saya denger nama Cilegon sejak jaman masih SD karena baja itu sih, hahaha..
Pagi itu alhamdulillah perjalanan rombongan kami lancar-lancar aja, gak ketemu macet sama sekali.
Lantas kenapa kami ujug-ujug ke Cilegon? Ada apa dengan Cilegon?
Karena di kota ini, tepatnya di Desa Sukasari, Kelurahan Randakari, Kecamatan Ciwadan Kota Cilegon, ada ibu-ibu (dan bapak-bapak) yang rajin menghijaukan lahan di rumahnya dengan berbagai tanaman yang berguna.
Tiap-tiap RT di lingkungan ini punya ‘tugas’ masing-masing. Ada yang menanam seledri, terong, cabe, kangkung. Misalnya, RT 1 khusus menanam seledri. Semua rumah di RT ini, halamannya menghijau segar dengan seledri. Bukan hanya di pekarangan rumah, bahkan ibu-ibu hebat ini juga memanfaatkan plastik bekas kemasan minyak goreng sebagai pengganti polybag, loh!
This slideshow requires JavaScript.
Di Randakari kami mengunjungi beberapa RT dengan ‘spesialisasi’ tanaman yang berbeda-beda. Warganya yang super ramah juga menjamu rombongan kami dengan macam-macam penganan, juga atraksi kesenian Bendrong Lesung yang meriah.
Oiya, tanaman yang dibudidayakan ini selain dikonsumsi sendiri, juga dijual oleh warga melalui koperasi Biwara. Jadi selain kampungnya jadi hijau dan sehat, warga juga memperoleh pendapatan tambahan dari kegiatan bertanam sayur ini.
Beneran deh. Di kampung ini, sepanjang jalan yang kami lewati benar-benar hijau. Tanahnya memang subur banget mestinya yaaa.. Kami menemui bukan hanya tanaman sayur macam seledri, tapi juga berbagai jenis mangga, srikaya, jeruk, bahkan anggur.
Duh, melihat yang hijau-hijau gini hati jadi bahagia. Pulang dari sana bahkan beberapa dari kami membeli pot seledri dan benih tanaman buat ditanam di rumah.
Tapi sebetulnya, daerah ini nggak dari dari sananya hijau dan subur. Konon, kampung ini dulunya gersang dan banyak timbunan sampah. Karena menjadi kawasan industri, lahan hijaunya lama kelamaan berubah menjadi area pemukiman warga. Makin gersanglah tanahnya.
Maka pada tahun 2015, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (Indocement) produsen Semen Tiga Roda dan Semen Rajawali berinisiatif membantu mengatasi masalah lingkungan ini dengan menjadikan lingkungan ini lokasi Proklim (Program Kampung Iklim). Lewat program ini, Indocement mengedukasi masyarakat setempat tentang pentingnya pelestarian lingkunga, bagaimana mengelola lingkungan berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Dan Indocement tentu tidak sendirian dalam hal ini. Mereka merangkul berbagai pihak untuk bekerjasama. Antara lain, dinas pemerintah kota, aktivis lingkungan, tenaga ahli lingkungan, dan tentunya warga masyakat.
This slideshow requires JavaScript.
Setelah 3 tahun, hasilnya terlihat nyata dengan hijau, subur, dan bersihnya kawasan lingkungan Randakari Cilegon ini. Bukti lainnya, RW 01 Randakari Kota Cilegon dianugerahi Sertifikasi Proklim Utama KLHK oleh Pemerintah Provinsi Banten, dalam acara Hari Mananam Pohon Indonesia beberapa waktu yang lalu.
SANGGAR WUNI KREASI
Dari Randakari rombongan bergerak ke Kelurahan Tegal Ratu, tepatnya ke Kubang Saron, masih di kecamatan Ciwandan, Cilegon.
This slideshow requires JavaScript.
Di sini kami disambut oleh Bapak Nurcholis dan kawan-kawan, para pendiri dan pengelola SWK (Sanggar Wuni Kreasi). Di sanggar, puluhan adik-adik juga menyambut kami dengan nyanyian dan lagu puji-pujian yang mereka nyanyikan dengan bersemangat.
Sanggar Wuni Kreasi ini beneran keren deh. Program utama mereka adalah penyediaan sarana edukasi dan literasi di luar sekolah dengan mendirikan saung sebagai tempat kegiatan dan TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Di saung ini juga anak-anak diajak mendongeng, mengenal sains dengan cara bereksperimen langsung, serta belajar Bahasa Inggris.
Sanggar ini juga mendirikan bank sampah untuk mengelola sampah warga. Saat ini nasabahnya 98 orang warga Tegal Ratu.
Tepat di sebelah saung utama, ada bengkel kecil. Ternyata itu adalah bengkel kerja Wuni Wood, yang juga diinisisasi oleh Bapak Nurcholis dengan bantuan manajemen dan pelatihan dari Indocement. Wuni Wood sampai saat ini sudah memproduksi hasil kerajinan berupa papan talenan, kursi, lemari, produk interior dan berbagai furniture berbahan kayu dan limbah palet.
Semoga ke depannya SWK semakin maju dan membawa manfaat bagi warga dan lingkungannya.
Ada yang hobi bikin kue, roti-rotian, dan semua makanan yang dipanggang kayak schotel, lasagna, pizza?
Di rumah, saya cukup sering bikin makanan atau sekadar bolu yang bikinnya gampang, buat cemilan anak-anak. Rasanya gak enak kalau di kulkas nggak ada stok makanan. Anak-anak saya itu udah gede-gede, makannya banyak, dan kebutuhan ngemilnya juga banyak, haha. Kalo tiap saat jajan cemilan atau roti-rotian ya sayang juga. Jadi untuk berhemat, juga supaya lebih ‘bersih’ aja, saya masak dan bikin kue sendiri. Di rumah. Pakai otang (oven tangkring) yang sejak beli belasan tahun yang lalu belum pernah ganti.
Koleksi loyang dan macam-macam cetakan kue saya juga cukup banyak (baca: banyak BANGET, sampe harus disimpen di gudang karena lemari dapur udah nggak muat saking banyaknya). Pernah ada masa-masa saya doyan banget belanja loyang berbagai bentuk dan ukuran. Seneng aja sih, liatnya. Gemes :))
Nah, minggu lalu sekali lagi saya dan beberapa teman blogger diundang ke Citeureup. Tepatnya ke Kampung Dukuh, Desa Pasir Mukti, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor.
KAMPUNG KALENG
Ada apa aja sih di Kampung Kaleng? Kenapa namanya Kampung Kaleng? Apakah semua warganya pengrajin kaleng?
Hmmm, bisa dibilang begitu, sih. Meski tidak semua, sebagian besar warga Kampung Dukuh memang berprofesi sebagai pengarjin peralatan rumah tangga berbahan dasar ‘kaleng’. Ada alumunium, galvalum, stainless steel.
First stop kami pagi itu adalah rumah Bapak Acun. Pak Acun adalah spesialis pengrajin oven tradisional berukuran besar. Jadi bukan oven tangkring yang biasa kita pakai di rumah yaa. Seberapa besar? Wah, macam-macam, tergantung permintaan pasar atau pesanan orang. Panjang oven produksi Pak Acun ini mulai dari 90 cm sampai lebih dari 150 cm. Cakep banget ovennya, dan bahan bakarnya gas/elpiji. Jadi dia standing oven gitu, bukan otang yang nangkring di atas kompor. Beliau bilang, perlu waktu 2 hari untuk mengerjakan oven ukuran besar ini.
Dari sana, kami bergerak ke kediaman beberapa warga pengrajin yang lain. Ternyata meskipun sama-sama berprofesi sebagai pengrajin kaleng, spesialisasi mereka berbeda-beda loh. Ada yang spesialis ngerjain oven custom berukuran besar seperti Pak Acun, ada pengrajin yang khusus bikin otang ukuran ‘normal’ seperti Pak Mafhun, ada yang khusus bikin loyang, ada yang spesialis cetakan kue, ada yang bikin tempat sampah berbahan stainless steel , panci, toples kerupuk, dan sebagainya.
This slideshow requires JavaScript.
Pak Dedi Ahmadi yang memandu kami hari itu menjelaskan, bahwa sejak tahun 2015, Kampung Kaleng punya wadah berupa koperasi, yang saat ini anggotanya sudah mencapai 135 pengrajin. Fungsi Koperasi Rancage hasil inisisasi Pak Dedi dan didukung oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (“Indocement”) Produsen Semen Tiga Roda dan Semen Rajawali ini adalah, antara lain, membantu pengrajin memperluas pangsa pasar, membantu permodalan dengan cara kredit bergilir tanpa bunga, sekaligus membantu pemasaran secara online. Koperasi Rancage juga mencegah timbulnya persaingan harga tidak sehat di antara sesama pengrajin.
P3M HAMBALANG
Tenang, ini bukan Hambalang yang kamu bayangkan. Hahaha…
Pusat Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat (P3M) Hambalang ini berada masih di Citeureup juga. Berada di area pasca tambang, dulunya kawasan ini sangat sangat gersang dan nyaris mustahil ditanami karena sudah sangat kehilangan unsur hara. Bahkan pH tanahnya dulunya cuma 2 (normalnya sekitar 6). Kemudian sejak tahun 2009, PT Indocement melakukan penelitian tentang tumbuhan apa saja yang bisa ditanam di area pasca tambang ini.
Kurang dari 10 tahun kemudian, pH tanan di daerah ini berangsur normal. “Sekarang pH tanah di sini sudah 6,5,” cerita Bapak R. Aditya Purnawarman, CSR Citeureup Department Head, yang hari itu menemani rombongan kami berkeliling.
This slideshow requires JavaScript.
Menyenangkan sekali melihat fasilitas yang ada di P3M Hambalang. Kami dibawa keliling ke area peternakan, perikanan, green house, juga ke Cluster Energy yang punya berbagai alat sebagai sumber energi alternatif. Ada solar panel, kincir angin, biogas dari kotoran ternak, yang semuanya bukan hanya pajangan tapi bener-bener berfungsi. Kalau malam, lampu-lampu taman di Cluster Energy ini menyala berkat listrik dari tenaga surya!
Menurut Bapak Aditya, ada 17 spot yang bisa dikunjungi di area seluas 10 hektar ini. Tapi dari beberapa yang sempat kami kunjungi, cukuplah kami buktikan sendiri, bahwa tidak benar sebuah industri itu bisanya cuma merusak lingkungan. Di P3M Hambalang, kami bahkan ditunjukkan sebuah danau, yang airnya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari, terutama jika musim kemarau tiba.
Btw, kalau pengen berkunjung ke P3M ini boleh banget, loh. Ini bisa jadi sarana edukasi yang baik untuk anak-anak sekolah, dari TK sampai mahasiswa. Tahun 2017 kemarin aja, ada 2700 pengunjung yang melakukan studi banding dan eduwisata ke sini.
Ceritanya, minggu lalu saya diundang ke acara launching produk AC terbaru dari Panasonic, si-BiRU. Jauh-jauh saya datang ke acara di Kemang ini, berharap –sekalian– ketemuan temen-temen yang udah lama cuma saling berinteraksi lewat media sosial. Tapi ternyata, gak ada satu pun wajah yang saya kenal di sana, hahaha. Cuma ada Aryanata yang dateng tepat sebelum jam makan siang.
Owalah. Ternyata sebagian besar undangan adalah wartawan. Yasudahlah. Alhamdulillah masih ada temen sebiji :))
Dari area parkir, warna biru sudah terlihat mendominasi Queen’s Head, tempat acara launching ini berlangsung. Masuk ke area restoran, bertebaran warna ‘biru Panasonic’ di mana-mana; di dinding, di banner, bahkan lampu-lampu yang tampaknya sengaja dipasang untuk acara ini pun, full warna biru.
Kurang lebih pukul 13.00, setelah semua undangan selesai makan siang, kami semua diajak masuk ke ruangan dengan screen raksasa di salah satu dindingnya. Tanpa banyak basa basi, kami lantas disambut dengan pemutaran video tentang sejarah Panasonic (dulu namanya National) yang ternyata sudah ada sejak 100 tahun yang lalu!
Seratus tahun, loh! Wuih…
This slideshow requires JavaScript.
Dalam presentasinya, Bapak Heribertus Ronny, Assistant General Manager Air Conditioner mengatakan bahwa biru dalam AC si-BiRU ini bukan sekadar salah satu unsur dalam spektrum warna.. Ia melambangkan ketangguhan. Selain itu, si-BiRU yang Tangguh juga merupakan singkatan dari fitur-fitur utama yang dijagokan Panasonic dalam produk pendingin udara terbarunya.
Apa sih arti tagline si-BiRU yang Tangguh? Ini lhooooooo….
Bandel: Tangguh di tegangan rendah Irit: Tangguh menghemat listrik Ramah Lingkungan: Tangguh menjaga lingkungan Umur Panjang: Tangguh melawan korosi
Soal ketangguhan produk AC-nya, menurut saya komitmen Panasonic udah nggak perlu dipertanyakan ya. Di rumah, kebetulan saya juga pakai AC National (yang mana adalah Panasonic nama lamaaa hahaha), yang umurnya udah DELAPAN BELAS TAHUN. Alhamdulillah beneran awet, gak rewel, asal pemakaian dan perawatannya bener aja sih :D
Pak Ronny bilang, setelah 60 tahun perjalanan, Panasonic telah melalui berbagai fase. Tahun 1958, untuk pertama kalinya, RAC mulai dipasarkan di Jepang. Tahun 1972, didirikanlah pabrik AC di Malaysia, disusul Indonesia pada tahun 1974. Beliau juga menjelaskan bahwa sejak tahun 2015, AC Panasonic telah memperkenalkan AC dengan teknologi refrigeran terbaru yaitu R32, yang lebih ramah lingkungan.
Apa aja sih, keunggulan R32 dibanding yang lain? Di antaranya adalah mampu menghasilkan pendinginan lebih cepat, cooling index lebih tinggi, pemakaian energi lebih efisien, sehingga konsumsi listriknya juga jadi lebih hemat.
Di tahun 2018 ini, AC Panasonic adalah yang pertama hadir dengan teknologi low voltage 160V. Artinya, bahkan ketika tegangan listrik di rumah (yang seringkali gak stabil kayak hati itu) tetap akan menyala dan bekerja dengan sempurna. Di ruangan sebelah, setelah press conference, kami diajak membuktikan sendiri soal ini.
Di booth ada 2 AC yang akan diujicoba. AC yang bukan Panasonic, saat tegangan listrik diturunkan bertahap, di tegangan 180 V aja udah mogok dia, gak mau nyala. Unit yang satu lagi, si-Biru dari Panasonic, tetap nyala dan berfungsi normal meskipun tegangan turun sampa 160V. Ini sekaligus menjelaskan kenapa si-Biru lebih irit. Ya karena mesinnya tidak perlu bekerja lebih keras supaya tetap nyala pada saat tegangan listrik tidak stabil. Gitu.
Di booth juga ditunjukin ‘jeroan’ si-Biru. Mulai dari unit outdoor-nya yang tangguh bahkan di perubahan cuaca yang kadang ekstrim seperti di Indonesia. Lalu juga evaporator dan condensor dengan teknologi Blue Fin yaitu lapisan anti karat yang menjamin keawetannya. Saking awetnya, Panasonic bahkan memberikan 3 years warranty untuk AC si-BiRU.
Nah, kamu butuh AC baru, karena AC kamar udah waktunya diganti, barangkali? Jangan salah pilih, ya. Kalo saya jadi kamu, mah, udah pasti pilih si-biru yang udah terbukti awet wet wet wet! Pilihannya juga macem-macem, kok. Dari 0.5 PK sampai 1.5 PK, semua ada. Tinggal cocokin aja mana yang paling sesuai dengan kebutuhan :)