Kalau Anda penyuka keris, atau barangkali mengoleksinya seperti dilakukan oleh salah seorang kakak sepupu saya, pasti paham kenapa harga sebilah keris bisa amat sangat mahal. Untuk yang tidak bicara ‘bahasa keris’ seperti saya, memang aneh membayangkan ada orang-orang yang bersedia membayar hingga jutaan, puluhan, bahkan ratusan juta, hanya untuk sebilah senjata tradisional berbahan utama dari logam ini. Yes. You read it right. RATUSAN. JUTA. RUPIAH. Blah! Mendingan buat beli rumah atau apartemen deh, uang sebanyak itu. Ehehehe…
Setahun yang silam, saya beruntung punya kesempatan berkunjung ke sentra produksi keris nun jauh di Pulau Madura sana, tepatnya di Desa Aeng Tong Tong, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Bersama Gelar Nusantara dan rekan-rekan blogger para pemenang lomba menulis Dji Sam Soe #MahakaryaIndonesia, tanpa dapat dihindari, saya terkagum-kagum begitu mendengar kisah di balik sebilah keris. Betapa panjang dan tak mudah proses pembuatannya dari awal sampai akhir. Sungguh luhur filosofi yang tersembunyi dalam setiap guratan atau ornamen yang menghiasinya.
Tahukan Anda, bahwa untuk menjadikannya layak dikoleksi dan berharga supermahal, sebuah keris harus memenuhi setidaknya empat syarat: dapur, bilah, tangguh, dan pamor? Keempatnya mengisyaratkan karakter si keris tadi. Di daerah mana dia dibuat, kapan, gaya ornamen apa yang menghias permukaannya, dan seterusnya.
Di Aeng Tong Tong, usai mendengar penjelasan Pak Faturrahman dari IPKI (Ikatan Pengrajin Keris Indonesia), tim Dji Sam Soe #MahakaryaIndonesia dipersilakan melihat langsung sebagian proses pembuatan keris, di semacam bengkel kerja di bagian belakang rumah. Di tengah gerimis yang berubah menjadi hujan deras, saya dan teman-teman berdecak kagum mengamati para pengrajin itu bekerja. Mereka menempa, mengikir calon keris yang masih berupa batang logam campuran besi, baja, dan nikel, menatah dan memahat, menghaluskannya, begitu berulang-ulang.
Sayangnya, saya lupa bertanya, berapa lama proses yang dibutuhkan untuk membuat sebilah keris. Tapi saya yakin, tanpa citarasa akan tradisi dan seni, tanpa kesabaran level tertinggi, sebuah karya seni seindah keris-keris yang saya lihat siang itu, tak akan pernah jadi sesuatu yang menjadikannya sebuah mahakarya. Jika prosesnya instan, grubak grubuk asal jadi, tanpa melibatkan kesabaran sang empu pembuat keris, maka sebilah keris hanyalah sebatang senjata tajam yang tidak indah, tanpa jiwa, tanpa ruh. Kesabaranlah yang melahirkan keindahan itu.
Kesabaran, yang merupakan salah satu karakter dasar manusia Indonesia. Sesuatu yang rasanya semakin hari menjadi semakin langka di era sekarang. Di dunia kini, di mana segala sesuatu terasa berputar serba cepat dan tergesa, semoga kita semua tidak kehilangan jiwa Indonesia kita yang satu itu.
Selamat berakhir pekan.