Tidak seorang pun di dunia ini yang suka digantungin. Atau diberi harapan palsu. Atau janji yang tak kunjung ditunaikan. Barangkali ini cukup tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi di industri tambang belakangan ini. Atau mungkin gak pas-pas amat juga. Entahlah. Saya pribadi menilainya begitu, sih.
Komitmen memang bukan hal gampang untuk sebagian kalangan. Integritas, nama baik, juga harga diri seringkali menjadi taruhannya. Tapi kadang-kadang, itulah yang terjadi. Janji-janji yang sudah diucapkan hanya tinggal janji yang entah kapan ditepati. Sebagai penonton, saya paling hanya bisa mengernyit, mereka-reka, atau… yaaah palingan hanya bisa kecewa.
Dulu saya sempat berharap banyak, dan ikut lega waktu ramai diberitakan soal kewajiban membangun smleter dan pelarangan ekspor mineral mentah. It’s about time. Sudah terlalu lama kita menunda kebijakan yang semestinya diambil dari dulu-dulu. Kita udah ‘kalah banyak’. UU Minerba seakan memberi harapan akan masa depan yang sama sekali baru. Saat itu. Namun dalam perjalanannya, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Urusan sumber daya alam mungkin memang rumit dan melibatkan banyak kepentingan, ya? Makanya perkara ini jadi seperti tarik ulur, tidak jelas lagi mau dibawa ke mana.
Soal komitmen, dampaknya juga ternyata tidak main-main. Tahun 2017 ini belum satupun perusahaan yang menyatakan akan membangun smelter. Padahal sejak tahun 2012, tercatat sudah ada 32 smelter yang telah dibangun. Tahun ini mandeg sama sekali. Sepertinya mayoritas investor di sektor industri smelter sedang menunggu keputusan pemerintah terkait wacana pemberlakuan secara penuh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Bapak Jonathan Handoyo, wakil ketua umum Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) pernah mengatakan bahwa beliau berharap pemerintah tidak lagi menganulir lagi perintah di regulasi itu melalui penerbitan aturan lainnya sehingga industri smelter nasional akan lebih cepat tumbuh pada masa mendatang.
Menurut catatan, pertumbuhan industri smelter sejak 2012 sampai sekarang mendatangkan invetasi asing di sektor industri pengolahan barang tambang senilai Rp 20 triliun. Sebanyak 32 fasilitas smelter yang telah dibangun di Indonesia ini, termasuk smelter konsentrat nikel, alumina, besi, dan tembaga. Sayang sekali hal yang sudah baik ini jadi berantakan karena kurangnya komitmen. Kalau saja pemerintah bersikap tegas dan mempertahankan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dengan tidak mengubah kebijakannya melalui aturan lainnya, mestinya industri smelter akan dapat tumbuh lebih baik tahun ini. Tidak akan ada saling tunggu, tidak ada tarik ulur dan ketidakjelasan.
Menepati janji seharusnya tidak sulit, ya? Apalagi jika dalam jangka panjang, kita sendiri yang akan diuntungkan. Sudah selayaknya sumber daya mineral dimanfaatkan untuk kesejahtraan rakyat, dan kita jaga untuk masa depan Indonesia dan anak cucu kita nantinya.
*gambar dari https://en.wikipedia.org/wiki/Smelting
Beberapa waktu lalu, saya sempat ngeblog tentang isu yang buat saya cukup menarik. Berita bagus di tengah carut marut dunia politik Indonesia, yang membuat saya kembali berpikir positif tentang masa depan negeri ini: pembangunan kilang minyak Pertamina dan Swasembada BBM tahun 2023.
Bahwa Pertamina punya program pembangunan kilang minyak di beberapa titik di wilayah Indonesia –Balikpapan, Balongan, Cilacap, Dumai, Bontang, dan Tuban– tentu kita semua tahu. Kalau rajin dan masih sempat membaca berita. Kalau gak sibuk demo :p
Tapi, seberapa positif sih sebenarnya berita tentang kilang minyak baru ini? Seberapa bagus untuk masa depan Indonesia?
Kalau dari penerawangan saya pribadi sih, ini luar biasa bagus untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kenapa?
Karena begini.
Selama ini, Indonesia masih harus mengimpor minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. Percaya nggak? Tiap tahun kita masih belanja minyak dari luar, lhoh. Karena produksi minyak harian kita masih jauh dari cukup. Dulu, saya pun mengira kita punya minyak sampai tumpah-tumpah. Nyatanya nggak. Jauh dari tumpah-tumpah. Kurang banyak, iya. Jadilah Indonesia masih harus membelanjakan devisa negara antara lain untuk mengimpor minyak mentah. Sampai sekarang.
Kan sayang.
Padahal, persediaan minyak bumi kita masih cukup jika Pertamina melakukan eksplorasi dan pembuatan kilang minyak baru. Dengan konsumsi minyak nasional sebesar 1,6 juta barel per hari, sementara kilang minyak kita hanya mampu menghasilkan kurang dari 1 juta barrel per hari, tentu ini pemborosan gak kira-kira buat devisa. Sayang amat. Duitnya kan bisa dipake buat pembenahan dan pembiayaan hal-hal lain yang lebih pentnting. Pendidikan dan kesehatan, misalnya.
Nah, dengan rencana pembangunan kilang minyak baru ini, semoga Nawacita yang dicanangkan Bapak Presiden kita akan segera menjadi kenyataan.
Fyi lagi, dari program kilang baru ini, kilang-kilang minyak seperti Balikpapan dan sebagainya akan meningkat jumlah produksinya, di mana total bisa memenuhi sampai 1,6 juta barel per hari.
Kemudian 2 kilang minyak yang sama sekali baru, yakni di Tuban dan Bontang, akan menghasilkan masing-masing 300 ribu barel per hari. Untuk pembangunan di Tuban, akan butuh 400 hektar lahan, mencakup 340 milik KLH, 64 hektar lahan milik Pertamina. Di Tuban, Pertamina juga akan bekerjasama dengan Rosneft Oil Company dari Rusia senilai Rp 175 T.
Dampak positif pembangunan kilang minyak baru di Tuban antara lain akan menyerap setidaknya 50.000 angkatan kerja yang diharapkan sebagian besar adalah masyarakat lokal. Di sekitar lokasi kilang juga akan bertumbuh ekosistem ekonomi baru: terbukanya peluang usaha UMKM, dari usaha sandang, pangan, dan papan bagi para pekerja pembangunan kilang.
Di masa depan, Pertamina juga akan memberikan banyak fasilitas untuk peningkatan pendidikan untuk masyarakat Tuban. Antara lain pemberian beasiswa dan pelatihan, sehingga ke depannya, akan lahir para ahli perminyakan dari Tuban.
Lalu, apa gunanya refinery program?
Bukan hanya akan meningkatkan kapasitas produksi harian, namun kualtias standar produksi juga akan ditingkatkan dari EURO II ke EURO V. Fyi, standar ini adalah standar internasional yang berkaitan dengan isu lingkungan. Jika Pertamina mampu meningkatkan perolehan standar produksi ini, maka ini adalah pencapaian tersendiri bagi Pertamina (juga Indonesia) di lingkup industri minyak internasional. Cool, isn’t it?
Jika pembangunan kilang minyak ini selesai lebih cepat dari prediksi, yakni ketika Pertamina mampu menghasilkan 2,2 juta barel per hari pada tahun 2023 yang akan datang, ini berarti 2 tahun lebih cepat dari target pemerintah yaitu tahun 2025. Lebih hebat lagi, jika produksi kita berlebih, Indonesia bukan hanya akan mandiri dan swasembada minyak, namun juga ada kemungkinan Indonesia akan menjadi pengekspor BBM. Tentu ini akan sangat membantu menambah pundi-pundi devisa negara.
Yuk ah, berhenti ngomong dan mikir yang jelek-jelek tentang Indonesia. Kita masih punya banyak sekali hal positif yang bisa kita bangun, asal semua pihak sepakat untuk mencintai negeri ini, dan bersama-sama merawat, mengawal, serta mendukung semua program baik untuk masa depan Indonesia dan kesejahteraan anak cucu kita.
Bersama kurang lebih 30 blogger lain, minggu lalu saya berkunjung ke Semarang atas undangan PT Sido Muncul. Iya, Sido Mucul, pabrik jamu legendaris yang salah satu produknya, Jamu Tolak Angin, menjadi andalan hampir semua orang kala masuk angin. Ya, setidaknya temen-temen dan orang-orang terdekat yang saya kenal sih ngakunya gak pernah absen membawa satu atau dua sachet jamu ini di tas. Saya termasuk satu di antara orang-orang itu, hehehe.
Keseruan trip ke Semarang ini dimulai sejak subuh di bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Begitu sampai di bandara, saya yang bingung karena belum hapal bagian dalam terminal 3 yang baru itu, dijemput Dwika dan diajakin langsung ke meeting point, tempat kawan-kawan bloger yang lain sudah menunggu. Wah, hampir semuanya blogger muka-muka lama! Pasti rame ini sih jalan-jalan bareng mereka :))
Mendarat di Semarang, rombongan dijemput oleh bus yang sudah stand by, siap membawa kami semua berkeliling. Oiya, entah siapa yang memulai, nyatanya kami semua sepakat menggunakan tagar #sidopiknik untuk berbagi keseruan dan aktivitas selama jalan-jalan ini lewat media sosial. Jadi kalau kemaren terlewat gak sempet ngikutin perjalanan kami yang super heboh, silakan cari dengan hashtag #sidopiknik aja ya :D
Tidak seperti dugaan saya, begitu sampai di Semarang, kami tidak langsung diajakin ke pabrik jamu Sido Muncul. Alhamdulillah tuan rumahnya baik banget dan ngertiin kalo jam segitu kami sedang lapar-laparnya, hahaha. Jadi dibawalah kami ke… kedai soto Pak Man, untuk sarapan! Iya sih, kami nyampe sana masih pagi banget, dan akan berkeliling seharian penuh, maka sarapan menjadi penting, sodara-sodara :))
Saya yang gak suka jajan atau nyobain kuliner ini itu, awalnya kaget liat mangkok soto yang disajikan di warung Pak Man. Ih, imut amat mangkoknya? Mana kenyang makan semangkok kecil begini? Owalaaaah ternyata di meja sudah disiapin wadah dan piring-piring besar berisi tempe goreng dan berbagai jenis sate: dari telor puyuh sampai jeroan. Jadi begini ternyata cara makan sotonya: nasinya dikit, aksesorisnya dibanyakin. Hahaha
Kenyang dan bahagia setelah sarapan, bus langsung meluncur menuju Rawa Pening. Pak Irwan Hidayat, direktur PT Sido Muncul beserta teamnya sudah menunggu kami di sana.
Di tepian Rawa Pening inilah Pak Irwan, juga Pak Bambang dari bagian PR memberikan penjelasan panjang lebar tentang eceng gondok dan cita-cita menjadikan Rawa Pening sebagai daerah tujuan wisata.
Lhoh, apa hubungannya eceng gondok dan sektor pariwisata, ya?
Jadi begini. Rawa Pening, danau seluas lebih dari 2600 hektar ini tadinya indah dan bening (Pening berasal dari kata ‘bening’). Berada di kaki gunung Merbabu, Ungaran, dan Telomoyo, Rawa Pening dikaruniai pemandangan yang bagus dan udara yang sejuk. Nah, sayangnya, eceng gondok yang kini bisa dibilang menutupi hampir sepertiga bagian danau, membuat danau ini tidak lagi seindah dahulu.
Menurut sejarahnya, eceng gondok yang merupakan tanaman asli dari Brazil ini, pertama kali dibawa ke Indonesia untuk dijadikan tanaman penghias kolam istana kepresidenan. Sayangnya, populasinya kemudian tidak terkendali karena kemampuan berkembangbiak tanaman ini ternyata luar biasa.
Bayangkan. Satu batang tanaman ini jika dipotong –dengan masih menyisakan akar–, akan tumbuh menjadi 8 (delapan) batang tanaman baru dalam waktu sangat singkat. Jika tanaman lain butuh waktu lama untuk berkembang biak, eceng gondok ini sebaliknya. Dalam waktu 23 hari saja, sebatang tanaman eceng gondok mampu berbiak dan menutup permukaan danau sebesar 1 meter persegi. Ini juga yang terjadi di banyak tempat lain di Indonesia: Waduk Cirata Purwakarta, Sungai Citarum, Jatiluhur, Danau Tondano, Danau Batur di Bali, Danau Toba di Sumatera Utara.
Upaya pembersihan eceng gondok dengan memanfaatkannya menjadi bahan baku kerajinan tangan dan sebagainya, bahkan pengerukan seperti yang kami lihat saat kami di sana, jelas tidak sebanding dengan kecepatan pertumbuhan populasi tanaman ini. Bahkan menurut Pak Irwan, “membersihkan eceng gondok dengan cara ini, seperti menggarami laut.” Ya iya sih. Kebayang kan, dipotong satu, tumbuh 8 batang baru. Didiemin, lama-lama itu danau penuh tertutup tanaman pengganggu.
Bukan hanya gak enak dilihat karena menuh-menuhin danau, hama eceng gondok ini juga bertanggungjawab terhadap menurunnya kualitas air, punahnya berbagai spesies ikan, juga percepatan pendangkalan danau. Karena anatomi daun eceng gondok yang lebar, juga kemampuan pertumbuhannya yang luar biasa, eceng gondok juga menyebabkan permukaan air danau menyusut bahkan akhirnya kering. Sedih banget, kan, danau-danau indah yang menjadi sumber mata air dan berpotensi menarik wisatawan berkunjung, akhirnya kering gara-gara eceng gondok?
udah jadi bahan padatan/bricket siap pakaikompor ini bahan bakarnya pake wood pellet eceng gondok
Kata Pak Irwan kemarin, karena Rawa Pening ini mestinya bisa dikembangkan menjadi daerah wisata dan membawa dampak ekonomi buat masyarakat yang tinggal di sekitarnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan mata airnya. Dari sini, PT Sido Muncul berinisiatif memanfaatkan eceng gondok sebagai sumber energi terbarukan sebagai alternatif gas, bahan bakar yang selama ini digunakan di pabrik. Lewat berbagai riset, di PT Sido Muncul, kini eceng gondok dapat diproses menjadi pellet, bahan bakar yang langsung digunakan di pabrik jamu tersebut. Proses pengolahannya juga cukup sederhana. Batang eceng gondok yang sudah dikeruk, diangkut ke pabrik, dimasukkan ke mesin pencacah, kemudian dicetak menjadi batang-batang pellet yang bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar. Danau menjadi lebih bersih, dan pellet eceng gondok juga memberikan dampak ekonomi bagi pabrik dan lingkungan sekitar. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Keren banget, ya…
Usai melihat langsung proses pembuatan pellet berbahan eceng gondok, rombongan diajak makan siang di joglo yang berada di area taman agrowisata, masih di dalam lokasi pabrik Sido Mucul. Di sana, kami semua mendapatkan banyak ilmu baru dari Pak Irwan Hidayat. Wejangan beliau tentang hidup, strategi bisnis, bahkan juga tentang kecintaan terhadap negara Indonesia, membuat saya merenung. Bapak yang satu ini bener-bener matang (bukan karena usia namun juga filosofi dan pengalaman hidupnya), bijaksana, jenius dalam berbisnis, dan sangat Indonesia. Barangkali keindonesiaan beliau bahkan ngalah-ngalahin saya. Pak Irwan ini, apa-apa yang beliau ingin lakukan, ujung-ujungnya adalah gimana caranya memberi manfaat dan dukungan sebesar-besarnya kepada negara dan bangsa Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempet nulis tentang perkembangan UU Minerba yang seakan terus-terusan ditarik dan diulur. Mulai dari dibangunnya smeltery pertama di Indonesia, diberhentikannya Pak Arcandra Tahar dari jabatannya sebagai Menteri ESDM, sampai rangkaian protes yang gak udah-udah dari para pemain industri yang gak setuju kalau pada akhirnya mereka cuma diberi izin ekspor logam murni. Setelah nemu dan baca berita-berita terbaru tentang hal ini (dengan agak susah payah, tentunya, karena belakangan yang disorot selalu tentang konflik-konflik menyedihkan. Get a life, yous!), ternyata kasus yang gak kalah menarik ini bakal segera memasuki babak baru.
Meskipun banyak desakan dan lobi dari para pemain industri pertambangan, kelihatannya UU Minerba akan tetap diperketat per bulan Januari 2017 mendatang. Semacam balik ke rencana awal yang menetapkan kalau logam baru boleh keluar dari Indonesia dalam keadaan murni atau udah melalui proses pemurnian di smeltery lokal. Denger update kayak gini, kayaknya yang seneng bukan cuma investor tambang dan pemerintah aja, ya? Kita-kita sebagai warga ya masak gak seneng kalau pendapatan negara akan bertambah? Hahaha. =))
Kalau beneran (dan semoga beneran) kejadian, berarti larangan ekspor mineral mentah yang dicanangkan sejak tahun 2014 akan selangkah lebih dekat menuju implementasi penuh. Tujuan awal buat memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan kemampuan domestik dalam mengolah hasil bumi sendiri juga bisa segera tercapai. Dari yang saya baca, sih, sekarang baru produksi nikel yang menunjukkan perkembangan. Semoga kedepannya bauksit dan tembaga bisa nyusul, ya.
Kemajuan yang gak merata ini adalah salah satu bukti bahwa UU Minerba tahun 2009–yang juga mempengaruhi larangan ekspor tahun 2014–belum sempurna. Masih ada yang harus dibenahi, terutama dalam menentukan treatment apa yang harus dilakukan ke jenis-jenis mineral apa saja yang paling berpengaruh di kancah pertambangan kita. Kasarnya, semakin besar nilai tambah suatu komoditas, harus semakin dipertimbangkan pula izin dan perkembangannya.
Meskipun berita-berita terbaru soal UU Minerba ini memberikan hawa positif, ada satu hal yang sama pentingnya buat diperhatikan. Semakin lama proses lobi dan implementasi hukum ini, maka semakin terhambat juga aliran dana investasi yang masuk ke Indonesia. Eh, tapi bener lho. Yang namanya investor pasti lebih mau masuk dan main di ranah yang aman dan udah punya hukum yang pasti ketimbang di tempat yang urusan legalnya masih dalam proses negosiasi. Selain itu, ekspor mineral yang makin menurun juga berpengaruh ke pendapatan negara.
Salah satu contoh kasusnya, Cina yang dulu paling banyak mengimpor hasil tambang dari Indonesia, sejak tahun 2015 lalu mulai berpaling ke Malaysia untuk mengimpor bauksit dan Filipina untuk mengimpor nikel. Buat pertimbangan, Cina adalah pengimpor mineral terbesar di dunia. Kebayang berapa banyak pemasukan yang harusnya bisa masuk ke kas negara? Makanya saya pengen banget UU Minerba ini cepet beres dan diberlakukan sepenuhnya, rugi banget, kan, kalau investor-investor besar angkat kaki gara-gara negara gak bisa ngasi kepastian hukum.
Sebagai penggemar berita baik, saya pengen kebijakan industri pertambangan (terutama larangan ekspor) diperketat. Semoga mulai Januari 2017 nanti, bener-bener cuma mineral murni dan buka mineral setengah jadi yang boleh keluar dari Indonesia. Resolusi tahun baru, anyone?
*ilustrasi dari sini.
Sejak kecil, saya dibuat untuk percaya bahwa kesejahteraan ekonomi keluarga berbanding lurus dengan usaha laki-laki yang menopangnya. Tidak secara langsung, memang. Tetapi dalam hal ini ada rasa ketergantungan yang ditanamkan pada saya. Baru ketika mulai berumahtangga saya sadar ada kepentingan-kepentingan yang harus dapat dikuasai pula oleh perempuan: mengelola keuangan atau cash flow, misalnya. Namun, karena belum terbiasa melakukannya, ada kalanya saya tidak percaya diri dalam membuat keputusan.
Sampai beberapa hari lalu ketika saya diundang ke acara Citi Peka yang dihelat oleh Citi Indonesia.
Acara diskusi ini menarik, karena isu dan perdebatan tentang mana yang lebih baik; perempuan bekerja (di luar rumah), ataukah ibu rumah tangga yang full memdedikasikan seluruh waktunya untuk mengurus keluarga, tak ada habisnya.
Setelah ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman saya, ternyata kami pernah merasakan hal yang sama. Sebelum pulang, kami sepakat bahwa salah satu penyebabnya adalah kurangnya tingkat pengetahuan ekonomi yang diajarkan kepada perempuan.
Kegiatan mengelola seringkali terkesan lebih remeh ketimbang kegiatan bekerja (di luar rumah). Bekerja, karena biasanya melibatkan kegiatan fisik, dianggap lebih prestisius dibanding mengelola. Padahal, kenyataannya tidak begitu; kegisatan mengelola keuangan sama pentingnya dengan bekerja. Di Indonesia, misalnya, mayoritas perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga memiliki tugas untuk mengelola keuangan sementara suaminya bekerja. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan pada 2013, tingkat literasi keuangan perempuan lebih rendah yaitu sebanyak 19% dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 25%.
Fakta tersebut agak ironis mengingat 51% pengelolaan keuangan keluarga Indonesia dikelola oleh perempuan. Kalau perempuan yang berperan sebagai pengelola keuangan sendiri tidak memiliki pemahaman akan apa yang ia geluti, ada dua kekhawatiran yang dapat muncul: pertama, kegiatan pengelolaan menjadi sia-sia dan dan cash flow menjadi tidak teratur; kedua, kemandirian finansial perempuan akan makin sulit dicapai.
Hal ini juga disinggung oleh Anggar B. Nuraini, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia, bahwa pemahaman keuangan merupakan faktor penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perempuan, sebagai pemegang kendali keuangan keluarga memerlukan pembekalan untuk meningkatkan pengetahuan pengelolaan keuangan, agar dapat cerdas dan mandiri secara finansial. Ketika perempuan paham akan keuangan, keuntungannya dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Cash flow keluarga yang teratur berarti satu langkah menuju perekonomian nasional yang lebih baik.
Oleh karena itu, muncul keperluan akan institusi yang peduli dan berkomitmen terhadap kesejahteraan peremuan melalui literasi keuangan. Tidak hanya demi kemandirian perempuan, tetapi juga untuk berjalan beriringan dengan Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang dicanangkan oleh pemerintah dan Strategi Nasional Literasi Keungan dari OJK untuk meningkatkan pengetahuan, keyakinan, dan keterampilan masyarakat dalam mengelola keuangan yang lebih baik. Program Citi Peka hadir memenuhi kebutuhan ini. Kebutuhan mendesak akan literasi dan edukasi keuangan untuk perempuan matang Indonesia, terutama mereka yang tidak/belum mempunyai akses ke pendidikan produk dan jasa keuangan.
Bagaimanapun, perempuan di Indonesia memiliki potensi untuk berkontribusi dalam pembangunan perekonomian, dan dengan pendidikan keuangan perempuan dapat memberdayakan diri sendiri untuk lebih percaya diri dan memiliki kekuatan ekonomi yang lebih baik. Untuk menjadi mandiri, cara paling baik tentu dengan mengandalkan diri sendiri terlebih dahulu. Banyak cara untuk belajar; tidak ada yang instan, namun banyaknya sumber pembelajaran seharusnya menjadikan proses belajar lebih mudah.
Mengutip mbak Vera Makki, Country Head Corporate Affairs Citi Indonesia, “One woman can make a difference, but together we can rock the world“
Ayo, jadi perempuan Indonesia yang melek finansial, yang mandiri secara finansial, bersama-sama!
September tahun lalu, bersama team Jejak Mahakarya, untuk pertama kalinya saya mengunjungi Wamena. Kota yang kecantikan alamnya menghipnotis saking indahnya ini, terletak di lembah Baliem yang secara topografi berbentuk seperti mangkok, dipagari barisan pegunungan di sekelilingnya.
Sebelum berangkat, temen-temen yang sudah pernah ke sana mengingatkan bahwa biasanya listrik padam kalau sudah malam. Jadi mereka menyarankan untuk membawa bekal power bank banyak-banyak. Supaya siang saat kami jalan, powerbank cadangan sempat di-charge, dan sudah penuh saat kami kembali ke kamar hotel pada sore atau malam hari.
Waktu itu saya bela-belain beli powerbank baru, plus satu powerbank tenaga surya yang bisa dicantelin di ransel, supaya gak perlu panik kehabisa baterai hape selama di jalan. Hiks. Orang kota banget, yak? Gak bisa hidup tanpa handphone :(
Ternyata betul apa yang diwanti-wanti temen saya tadi. Tiap malam, selama 3 malam di sana, listrik tiba-tiba mak pet aja, padam atau dipadamkan tiap jam 8 malam. Untungnya, jam segitu biasanya kami masih ngobrol di lobby yang juga merangkap tempat makan. Sambil minum kopi setelah makan malam, kami masih ketawa ketiwi sambil membahas pengalaman naik turun bukit siang harinya. Lalu, biasanya jam 9 malam, kami semua bergegas balik ke kamar masing-masing …
Yang jaraknya dari lobby…
Jauh banget…
Jalannya nanjak…
DAN GELAP TANPA PENERANGAN APAPUN. PITCH BLACK.
Hiiiy…
Jadi, di kegelapan, sambil mengandalkan senter darurat dari aplikasi di hape, saya harus berjalan merambat, pelan-pelan dan super hati-hati, supaya gak nabrak atau jatuh tersandung.
Saya benci hidup tanpa listrik. Bahkan saat di rumah, yang listriknya sesekali padam kalo lagi hujan deras, saya bete gak bisa kerja gak bisa ngapa-ngapain, karena wifi di rumah mati kalo listriknya mati. Gak kebayang hidup di daerah terpencil, yang sudahlah jauh dari mana-mana, harus gelap-gelapan pula setiap malam karena tempat tinggalnya belum punya akses listrik.
Fyi, daerah seperti itu, yang malam-malamnya harus dilewati dalam gelap total tanpa penerangan dari listrik, yang anak-anaknya harus belajar dan bikin PR hanya dengan penerangan seadanya, itu masih buuuuuuanyak. Ada ribuan desa di seluruh wilayah Indonesia yang hingga saat ini belum menikmati listrik. Ada jutaan anak yang belajar setiap malam hanya ditemani lilin atau lampu teplok sederhana. Ada jutaan keluarga yang hidup tanpa siaran televisi, apatah lagi menikmati akses pengetahuan dan berita global lewat internet. Buat mereka, barangkali, ini adalah kemewahan yang sama sekali tak terjangkau.
Yang membuat saya sedih, adalah membayangkan betapa sulitnya bagi anak-anak ini untuk bersaing di masa depan, kelak ketika mereka dewasa. Bagaimana mereka dapat menyamai kemampuan dan pengetahuan saudara-saudaranya yang dengan mudah mencari tahu tentang banyak hal lewat internet, yang boleh dibilang mustahil bisa diakses tanpa listrik.
Di Hari Listrik Nasional yang jatuh tepat pada hari ini, 27 Oktober 2016, boleh dong ya, saya berharap pemerintah segera mewujudkan Program Indonesia Terang. Supaya Indonesia menjadi benderang secara merata, bukan hanya di Jawa atau di kota-kota besar aja. tapi sampai jauuuuuuh ke pelosok-pelosok desa terpencil. Ke daerah pegunungan. Ke lembah-lembah. Ke pedesaan di tengah hutan. Supaya setiap anak Indonesia bisa belajar dengan nyaman, supaya setiap keluarga dapat menikmati fasilitas listrik yang sama dengan kita semua orang-orang kota ini, di manapun mereka berada selama masih di wilayah Indonesia.
Semoga cita-cita rasio elektrifikasi mendekati angka 100% beberapa tahun mendatang segera tercapai. Mudah-mudahan Indonesia segera terang merata, dan mudah-mudahan dengan program listrik 35000 MW yang dicanangkan pemerintahan Pak Jokowi, tarif listrik bisa ditekan lebih murah dan terjangkau bagi semua kalangan masyarakat.