Betul apa kata orang. Jangan pernah memaksa diri melakukan sesuatu yang kamu tidak yakin mampu melakukannya. Ini berlaku untuk semua hal di dunia ini. Well, hampir semua hal. Just know your limits. Begitu katanya.
Saya sadar betul, bahwa saya bukanlah orang yang atletik. Olahraga udah lama absen, apatah lagi berlelah-lelah naik gunung. Gak pernah. Namun pada perjalanan ke Kawah Ijen, Banyuwangi kemarin, mau tak mau saya harus membulatkan tekad, sekaligus memaksa diri sendiri. Iming-iming blue fire sebagai ‘hadiah’ jika kita sanggup naik hingga ke bibir kawah di ketinggian 2.368 mdpl, cukup melecut dan membangkitkan semangat.
Sesaat setelah pukul 1 dini hari, rombongan Indonesia Travel dan teman-teman blogger dari Nuffnang Singapore berangkat ke Pos Paltuding –titik awal jalur trekking ke Kawah Ijen– dengan beberapa mobil. Sisa kantuk masih menggelayut, lelah juga belum sepenuhnya hilang. Tapi tentu saja kantuk dan lelah harus dilawan, karena ini Ijen Crater. Kawah yang pada jam-jam tertentu menjanjikan fenomena luar biasa indah berupa api kawah berwarna biru, yang konon hanya ada dua di seluruh dunia. Bagaimana mungkin saya melewatkan kesempatan menyaksikannya dengan mata kepala sendiri?

Dengan gigi gemeletuk menahan dingin 6 derajat celsius, saya dan rombongan mulai naik menyusuri jalanan berdebu dan berpasir menuju kawah. Sama sekali tak terbayang akan seperti apa jalurnya. Yang saya dengar dari tour guide dan beberapa kawan seperjalanan yang sudah pernah ke Ijen, jalurnya santai. Di beberapa titik, ada ‘bonus’. Setapaknya akan lumayan datar, jadi kita dapat berjalan sembari mengatur napas, sebelum ketemu jalan menanjak berikutnya.



Bonusnya beneran ada, karena memang jalur naiknya tidak seluruhnya menanjak. Tapi toh, semangat saya perlahan rontok bahkan sebelum separuh perjalanan. Setiap beberapa puluh langkah, saya berhenti. Nyaris menyerah dan memohon-mohon supaya boleh turun ke hotel saja lagi. Jantung serasa hendak meledak setiap kali melangkahkan kaki.
Mbak Terry lah yang dengan sabar menemani saya berjalan pelan –SANGAT pelan, haha– dan berkali-kali berhenti setiap kali saya ngos-ngosan dan merasa tidak sanggup lagi melangkah.
Oh, yes. I should have known better. I should know my limits. Namun saya bersyukur, dini hari itu saya melakukan sesuatu yang sesungguhnya jauh melewati batas kemampuan fisik saya. Kalau saja saya menyerah dan merelakan ‘hadiah’ blue fire lepas dari tangan, barangkali saya akan menyesal berkepanjangan. Bahkan mungkin saya tidak akan berhenti merutuki diri sendiri. Blue fire di Kawah Ijen bukanlah sesuatu yang dapat kita saksikan setiap hari, bukan?
I’m glad I did it.
This trip provided by the Ministry of Tourism of the Republic of Indonesia, VITO Singapore, Garuda Indonesia – Singapore, and Nuffnang