Waktu mendapat undangan dari Kemetrian Pariwisata untuk berkunjung ke Pondok Pesantren Al Mizan di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, saya sempat ragu. Apa yang bisa dilihat di sebuah pondok pesantren, ya? Mau lihat apa di sana? Apa yang nantinya akan saya ceritakan lewat blog dan media sosial?
Rasa penasaran akhirnya mengalahkan keraguan yang sempat hinggap di kepala. Kalau gak sekarang, kapan lagi saya mblusuk-mblusuk masuk ke lingkungan Pondok Pesantren?
Maka setelah bermacet-macet di jalanan menuju Gedung Sapta Pesona, meeting point rombongan kecil kami, segera mobil minibus yang akan membawa saya, Mbak Tery, Mbak Laras dari Indonesia Travel, Mas Andri, dan Andika meluncur menuju… Cirebon!
Lho, kok Cirebon? Katanya mau ke Majalengka.
Ya kan. Saya tadinya juga bingung. Majalengka atau Cirebon? Atau apakah ini adalah dua kota yang sama? Halah :))
Ternyata kami harus menginap di Cirebon karena di area sekitar Ponpes Al Mizan belum ada hotel yang dinggap cukup nyaman. Lagipula jarak antara hotel tempat kami menginap dan Ponpes tempat berlangsungnya Festival Pesona Religi Al Mizan ini ternyata cukup dekat, dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 1 jam.

Singkat cerita, di Pondok Pesantren yang berdiri di area yang cukup luas ini, saya terkesan dengan keramahan dan ‘rasa modern’ yang ditampilkan. Bukan hanya karena mereka sangat terbuka menerima dan memasukkan unsur seni budaya dan kearifan lokal ke dalam napas pesantren sehari-hari, atau karena packaging Kang Maman sang pemimpin Pondok yang modern dan gaul ya. Tapi lebih jauh, pada malam puncak Festival yang menampilkan pertunjukan tarian, musik, dan Wayang Ajeg, saya sempat berbincang sejenak dengan Kang Maman. Beliau bercerita bahwa Pondok Pesantren Al Mizan sangat menghargai pluralisme, keragaman, perbedaan. Pernah ada saat ketika sebuah lembaga menyatakan bahwa pluralisme itu haram, Kang Maman mengadakan pertunjukan tarian sufi di halaman pondok untuk menyatakan bahwa mereka menentang pernyataan itu.
Bahkan pondok pesantren ini pernah mengundang perwakilan dari 120 (iya, 120!) agama dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia untuk bersilaturahmi, berdiskusi, dan menginap di pondok ini bersama-sama. Kisah ini menurut saya sangat luar biasa, dan seketika mematahkan stigma yang telanjur melekat di banyak institusi dan lembaga Islam sebagai sesuatu yang seram, kasar, dan anti perbedaan, if you know what I’m saying.

Oiya, selain menengok wisata religi di Ponpes Al Mizan, rombongan kecil kami sempat juga jalan-jalan ke Curug Muara Jaya, kurang lebih 1 jam perjalanan dari Jatiwangi, Majalengka. Karena hujan yang cukup deras, usaha pertama kami ke Curug ini gagal total. Nyasar dan yaaa mau liat apa juga kalo ujan deres kan ya? Hahaha.
Di hari berikutnya barulah kami bisa sampai ke Curug yang udaranya sejuk ini. Jalur menuju air terjunnya sudah cukup bagus. Ada beberapa ratus anak tangga yang menghubungkan area parkir dan curug. Tidak terlalu curam, dan tentu saja bayaran untuk berlelah-lelah naik tangga tadi adalah kita dapat menyaksikan air terjun yang indah, dan main air di situ. Kalau berani. Saya sih gak berani :))
Ah, satu saat nanti mungkin saya akan balik ke Cirebon dan Majalengka, dan mengeksplor lebih banyak keindahan alam dan kulinernya.