Pernah nggak sih, kepikiran, apa jadinya hidup kita kalo gak ada minyak bumi? Bayangin hidup tanpa bensin, solar, atau avtur (eh bener kan ya bahan bakar pesawat namanya avtur?), atau elpiji. Betapa repot dan gak nyamannya.
Kadang-kadang, karena saking terbiasanya kita dimanjakan dengan bensin, gas elpiji, solar, yang kelihatannya selalu ada itu, kita lupa bahwa jenis komoditas yang ini adalah sesuatu yang harus diupayakan. Harus diadakan. Bukan tiba-tiba numbuh di pohon dan tinggal metik, lalu siap kita pakai untuk memudahkan hidup kita sehari-hari. Bener gak? Bener dong.
Saya juga gitu, kok.
Sampai kapan itu , lewat linimasa Twitter, saya nemu berita tentang rencana Pertamina untuk mengimpor 155 juta barrel minyak tahun ini.
Glek.
Negeri kita yang katanya kaya akan minyak dan segala mineral hasil bumi itu, masih impor minyak? Bukankah kita punya Pertamina dan kilang-kilangnya, yang mestinya bisa memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi, ya?
Selama ini, saya berpikir bahwa ketersediaan minyak kita itu berlimpah dan bahkan lebih-lebih, loh. Mana tau kalo ternyata kebutuhan minyak kita ternyata masih jauh lebih besar dibandingkan yang bisa disediakan oleh Pertamina, dan karenanya Indonesia masih harus mengimpor minyak mentah setiap tahunnya.
Dari banyak berita yang saling terkait soal ini –yang mau gak mau saya klik juga karena pengen tau cerita sebenarnya tentang impor minyak mentah ini—saya baru nyadar bahwa…
Ya. Bumi dan alam kita memang luar biasa kaya. Kita punya cadangan minyak yang seharusnya cukup untuk memenuhi setidaknya kebutuhan kita sendiri. Tapi yang terjadi adalah, konsumsi minyak nasional kita masih di atas kapasitas kilang-kilang minyak yang dimiliki oleh Pertamina.
Hitungan sederhananya seperti ini:
Konsumsi minyak nasional: 1,6 juta barrel per hari
Kapasitas kilang: 1,05 juta barrel per hari
Defisit kurang lebih 0,550 juta barrel per hari.
But wait. Faktanya, kapasitas operasi kilang Pertamina ternyata hanya 850-900 ribu barrel per hari. Gak nyampe 1 Juta BPD. Kenapa? Karena secara berkala, kilang minyak Pertamina ini pun secara bergantian butuh waktu untuk perawatan reguler. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia masih harus terus menerus mengimpor sejumlah besar crude oil untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang (semoga) terus membaik. Impor minyak mentah dari negara lain ini jelas boncos, ya. Kebocoran untuk devisa negara, karena anggaran yang mestinya bisa dipakai untuk kebutuhan lain, jadinya terpakai untuk belanja minyak.
Belum lagi, menurut hitung-hitungan para ekonom, dalam 7 tahun mendatang, yaitu di tahun 2023, ekonomi Indonesia akan tumbuh sebsar 5,6% sampai 5,8%. Hal ini akan mengakibatkan kebutuhan akan minyak juga meningkat signifikan, menjadi 2,2 MBPD.
Untuk menjawab kebutuhan mendesak ini (inget lho, 7 tahun itu BUKAN waktu yang lama), sekaligus untuk menyelamatkan devisa supaya gak bocor tiap tahun buat beli minyak bumi, Pertamina punya program jangka panjang mengembangkan 4 kilang minyak: Balikpapan, Balongan, Cilacap, dan Dumai. Program kerja yang dikenal dengan RDMP (Refinery Development Master Plan) ini diharapkan akan mampu mengcover kebutuhan minyak dalam negeri. Selain itu, juga akan dibangun kilang minyak baru. Nama programnya New Grass Root Refinery (NGRR), di Tuban dan Bontang. Nantinya, jika keenam kilang ini siap beroperasi, Pertamina akan mampu menyediakan 2,2 juta barrel per hari. Cukup untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri.
Dana yang dibutuhkan untuk mega proyek 6 kilang minyak ini mencapai 500 triliun. Hmmm gede banget, yah? Tapi demi swasembada bahan bakar minyak tahun 2023, supaya kita gak terus-terusan ngabisin devisa buat belanja, I think it is worth every penny.
Gimana menurut kamu?
*ilustrasi dari sini