Indonesia…
bangsa yang rekat, walau ribuan pulau memisahkan
yang satu mimpi walau terbagi beribu suku
kita membuka telinga untuk semua teladan
kita akan senantiasa merunduk dan mengasah sebuah keaslian rasa
kita merendahkan hati
kita tak melompat atau terbang
kita melangkah mantap
satu, demi satu, demi satu…
kita bersabar
kita menempa kualitas diri dan menjaganya agar tak pernah berubah
dan saat sesuatu berjalan selayaknya
kita setia, patuh pada tata cara
kita lupakan satu, sampingkan sendiri
lalu memupuk kesempurnaan bersama
karena kapal ini butuh semua tenaga
kita bergotongroyong
lihatlah, sesuatu yang dimulai dari dalam
tak akan runtuh terkikis waktu
inilah jiwa Indonesia
jiwa yang menciptakan mahakarya
Narasi pada iklan Dji Sam Soe yang diputar di televisi ini seolah membawa saya sejenak kembali ke dua bulan silam.
Pada suatu pagi –lebih tepatnya dini hari– di minggu pertama bulan Desember 2014, bersama Gelar Nusantara, dan teman-teman blogger dan jurnalis pemenang Writing Competition Gemah Rempah Mahakarya Indonesia, saya bertolak ke Ternate. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di salah satu pulau di wilayah Timur Indonesia yang cantik ini, setelah beberapa kali rencana perjalanan ke sana tepaksa batal atau harus disusun ulang.
Pesawat yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara Sultan Babullah, Ternate. Beberapa saat sebelumnya, dari ketinggian, saya dibuat kagum oleh lukisan cantik pulau-pulau kecil yang hijau subur berbukit-bukit, dikelilingi lautan dengan airnya yang biru jernih.
Langit dan laut di Indonesia Timur memang selalu memikat. Bahkan konon, semakin kita bergerak ke timur, warna lautnya akan semakin biru. Entahlah. Yang saya amati dari perjalanan-perjalanan yang lalu, langit di Timur memang selalu lebih indah dan bersih. Barisan awan terlihat lebih putih dan lembut, yang bahkan jika kita memotretnya dengan kamera apa pun, memotret asal saja, tanpa berhitung ribet soal bukaan lensa, komposisi, pencahayaan, hasilnya akan selalu bagus.
Anyway, balik lagi ke narasi iklan yang terasa makjleb tadi.
Soal gotong royong, saya jadi bertanya-tanya. Apa iya kita masih punya, ya? Di era di mana semua orang sibuk dan asyik sendiri dengan layar gadget masing-masing, apa kita masih kenal dengan kebiasaan lama yang Indonesia banget ini?
Di masa kecil saya dulu, yaaa kurang lebih 40 tahun yang lalu lah, hahaha… gotong royong bukan sebatas jargon yang melambangkan ini itu. Bukan sekadar istilah atau hafalan yang didapat dari buku pelajaran di sekolah. Di masa itu, gotong royong adalah keseharian. Bukan kewajiban, bukan keharusan yang harus dipatuhi karena memang harus. Kami melakoni spirit kebersamaan ini sebagai bagian dari kehidupan.
Agak susah dipahami gak, sih, bahasa saya? Hehe. Namun begitulah yang saya ingat. Kebersamaan, rasa bersatu, rasa ingin saling menolong jika tetangga butuh pertolongan, adalah bagian dari kehidupan sederhana kami. Ia adalah keseharian.
Ok, balik lagi ke Ternate. Aduh lompat-lompat begini ceritanya. Maafkan yak. Mumpung kepikiran jadi saya tulis aja semua yang lewat-lewat di kepala, sebelum lupa mau ngomong tentang apa.
Di hari kedua trip Gemah Rempah Mahakarya Indonesia tahun lalu, dengan ferry, rombongan menyeberang ke pulau Tidore, sebuah pulau kecil yang bisa ditempuh kurang dari setengah jam dari Ternate. Kesan pertama saya ketika itu, ada yang berbeda di sini. Lautnya masih sama indahnya, langit di sana juga sama birunya. Tapi jelas, kotanya rapi dan bersih. Sangat rapi, dan sangat bersih. Ke sana sendiri deh kalo gak percaya. Lalu bandingkan dengan Jakarta dan sekitarnya yang (maaf nih, tapi kan saya harus jujur) jorok dan kusut dan udaranya kotor dan sampah bertebaran di mana-mana. Hiiiy…
Fenomena ini (halah!) terjawab oleh penjelasan dari Sultan Husain Syah, dan Bapak M. Amin Farouk, Sekretaris Kesultanan Tidore. Beliau-beliau ini bercerita tentang budaya Bari Fola, yang berlaku di Tidore sejak dulu.
‘Bari’ secara harfiah berarti kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh banyak orang, dengan kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari pihak lain, tanpa mengharapkan upah. Definisi yang persis sama dengan istilah gotong royong yang kita kenal kan ya? Di sana, menurut Sultan, kalau ada panggilan untuk Babari, semua laki-laki dewasa akan keluar rumah dan bergotong royong melakukan kewajiban bersama: membersihkan jalan dan lingkungan, membersihkan saluran air, dan sebagainya.
Bahkan konon, di Tidore tidak ada warga miskin, yang saking miskinnya sampai harus hidup di jalanan. Semua warga punya rumah dan tempat tinggal yang layak, karena masyarakat –atas perintah dari Kesultanan– bergotongroyong membangun tempat tinggal bagi warga yang belum punya rumah. Jleb, nggak?
Di Bali, setahu saya juga ada budaya mesilih bahu, yang artinya adalah ‘meminjam bahu’, yang masih berlaku sampai sekarang. Silakan cari di google tentang mesilih bahu kalo ingin tau lebih jauh tentang istilah ini. Poin saya adalah, jiwa gotong royong ini memang kita banget, kok. Ini memang jiwa Indonesia. Core-nya Indonesia. Ia mengalir dalam darah, diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Gak peduli seberapa maju dan canggihnya (atau porakporandanya?) dunia, spirit berbagi ini, jiwa saling membantu ini akan tetap menjadi bagian dari cara kita menjalani kehidupan. Kita akan menjaganya bersama-sama, yes?
Masih ingat filosofi sapu lidi? Satu lidi tak bisa melakukan apa-apa. Tapi bersama-sama… silakan diteruskan sendiri kalimat ini. Saya yakin, kita semua setuju dan masih meyakini filosofi indah di baliknya.
Selamat berakhir pekan. Salam satu Indonesia!